KEGANASAN API YANG MEMBAKAR HUTAN DAN LAHAN APAKAH TERJADI SECARA ALAMI?


Oleh: Shalsha Baharrizqi
Muslimah Peduli Umat

Lagi-lagi lidah api telah membakar Hutan dan Lahan (Karhutla) Desa Kalumpang Kecamatan Bungur Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan. Satuan tugas kebakaran hutan dan lahan (Satgas Karhutla) mengamankan pemukiman warga yang hanya berjarak di bawah 200 meter dari kobaran tersebut.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan pun menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah merambat hingga ke pinggir jalan. Hingga Sofyan menuturkan bahwa "Petugas harus bekerja keras dalam memadamkan api di semak belukar Desa Kalumpang karena tidak cukup satu tangki air, namun tim gabungan mampu mengatasi seluruh titik api." Dampak dari kebakaran ini tentu mengancam pemukiman warga Tapin.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menyebut pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi ataupun perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. sebanyak 14 perusahaan diketahui telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan total nilai putusan mencapai Rp5,60 triliun. Secara lebih terperinci, 7 perusahaan sedang dalam proses eksekusi dengan nilai Rp3,05 triliun dan 7 perusahaan persiapan eksekusi dengan nilai mencapai Rp 2,55 triliun.

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan seperti ini tidak pernah bisa selesai apabila pemerintah tidak mengambil tindakan yang tegas dan tepat dalam mengatasinya.

Pemerintah yang menganut paham kapitalis tidak mampu menyelesaikan masalah ini karena yang mereka terapkan adalah kebijakan yang dikendalikan oleh para kapitalis atau para pemilik modal.

Negara telah banyak memberikan hak kepada perusahaan swasta (asing) dalam mengelola lahan yang hanya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan umum.

Sejatinya, sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri inilah yang menyebabkan deretan peristiwa tersebut terjadi. Beberapa gelintir orang dengan mudahnya melakukan tindakan berbahaya demi mewujudkan ambisi memenuhi pundi-pundi mereka. Hal ini diperparah dengan rancunya konsep kepemilikan terhadap suatu barang (hutan) yang seharusnya pengelolaan serta pemanfaatan hutan tersebut ditangani oleh pemerintah (negara) karena termasuk dalam kepemilikan umum.

Pemerintah seharusnya dapat mengambil pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya. Apalagi dalam menegakan hukum kepada pelaku pembakaran hutan, sangat tidak tegas, malah boleh dikatakan cenderung lemah. Akibatnya perusahaan masih bisa memiliki lahan yang luas atas izin pemerintah, kemudian di kelola untuk kepentingannya tanpa memperdulikan dampak buruknya bagi masyarakat sekitar apalagi dunia.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 11:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.”

Maka sudah seharusnya kita sebagai manusia merawat dan menjaga alam, termasuk hutan dengan baik. Bukan malah melakukan kerusakan yang dapat berdampak bagi yang lainnya. Negara sebagai penggerak harus menjaga kelestarian hutan yang sangat bermanfaat untuk paru-paru dunia, penyimpan air pada saat musim hujan dan sebagai sumber air pada saat musim kemarau tiba.

Menyalakan tungku saja jika asapnya dapat mengganggu orang lain dilarang apalagi jika yang dibakar adalah hutan atau lahan. Karena lahan sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menunjang perekonomian. Namun, perlu diperhatikan pula dampak buruk akibat pembukaan lahan pertanian. Jangan sampai maksud hati meningkatkan kesejahteraan, tetapi di sisi lain justru menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan bahkan petaka bagi orang lain.

Penyelesaian masalah Karhutla ini tidak akan mungkin bisa diterapkan tanpa ada perubahan sistem yang diberlakukan sekarang. Hanya dengan diterapkanya sistem Islam lah segala problematika dapat di sapu tuntas. Mengingat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama, dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang (korporasi).

Agar semua dapat merasakan manfaat dari hutan secara adil, negara harus mewakili masyarakat dalam mengatur pemanfaatannya. Marilah, sudah saatnya kita hijrah pada sistem Islam kaffah.

Wallahu a’lam bish-shawab

Posting Komentar

0 Komentar