MENERUSKAN TRADISI ULAMA "MENULIS"


Oleh: Arik Rahmawati
Sahabat Surga Cinta Qur'an

Menulis adalah salah satu tradisi para ulama pada masa lalu. Mereka adalah para ulama yang handal sekaligus juga penulis yang hebat. Bagi mereka menulis itu seindah atau semudah berbicara. Tak ada yang sulit bagi para ulama tersebut untuk menulis.

Kita ambil contoh Imam Syafi'i memiliki karya sebanyak seratus tiga belas kitab, baik kitab dalam ilmu ushul Fiqh maupun yang lain. Begitu pula dengan Imam An Nawawi yang terkenal dengan bukunya atau karyanya yang fenomenal yakni Riyadhus Sholihin. Beliau memiliki karya sebanyak empat puluh kitab dalam hidupnya.

Begitu pula Syekh Taqiyuddin An Nabhani pendiri Hizbut Tahrir. Beliau kerap meluangkan waktunya untuk menulis buku. Beliau telah menyusun berbagai macam kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Dikisahkan oleh Ustad Hafidz Abdurrahman bahwa Syekh Taqiyuddin menulis kitab Mafahim itu hanya dalam waktu dua jam dan beliau menyusun kitab ushul fiqh yang tebalnya sekitar 500 halaman itu hanya dalam waktu tiga hari. Hebat kan?

Karya-karyanya tersebut menunjukkan bahwa Syekh Taqiyuddin merupakan seorang cendekiawan dan tokoh Islam yang memiliki pemikiran brilian dengan analisis yang cermat. Sedikitnya terdapat 25 jilid buku hasil karya Syekh Taqiyuddin al-Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihadnya selain ribuan risalah (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir.

Bahkan Ibnu Rajab Al Hambali dikisahkan bahwa beliau telah menuliskan hasil karyanya hingga ribuan jilid. Setelah beliau wafat para muridnya mengumpulkan hasil karya beliau itu jika ditotal secara keseluruhan maka sehari itu bisa menuliskan sebanyak sembilan jilid buku subhanallah.

Dalam sejarah Islam, begitu banyak contoh mengenai produktivitas ulama dalam hal menulis di antaranya:
  • Ibnu Jarir At-Thabari, karangannya berjumlah 358 ribu lembar, dalam sehari ia mampu menulis sebanyak 40 lembar [dalam Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, Abdu al-Fattah Abu Ghuddah, 43].
  • Imam Ibnu Jauzi meninggalkan karya sebanyak lima ratus buku [dalam Qimatu al-Zaman, 56]. Abu Bakar al-Bāqalāni tidak tidur hingga menulis 35 lembar [Qimatu al-Zaman, 86] dan ulama lainnya.

Itu hanya contoh kecil dari sekian banyak contoh produktivitas ulama dalam bidang tulisan.

Mengapa mereka bisa demikian produktif ya sobat? Mengapa bisa beda gitu ya dengan generasi hari ini? Padahal sama-sama manusianya. Sama-sama memiliki waktu 24 jam seharinya. Sama-sama memiliki naluri dan kebutuhan jasmani yang sama.

Lalu bagaimana dengan diri kita hari ini? Kalau kita disuruh menulis mengapa kok nggak bisa satset gitu ya? Hayoo kenapa ya? Kalau kita kadang sebelum menulis mencari banyak referensi bahkan lebih banyak referensinya daripada tulisan kita sendiri. Betul nggak? Kadang dikasih waktu menulis pun nggak segera eksekusi dan nggak kelar-kelar. Adakah yang seperti itu? Bahkan ada yang ketika ditugasi menulis tak ada kabar beritanya lalu terkena penyakit MUNTABER. Apa itu muntaber? Yakni mundur tanpa berita. Ayo ngacung kalau ada di sini? Kalau ada sama berarti dong dengan saya. Jangan ditiru ya....

Lalu apa ya resepnya sehingga para ulama itu bisa menelurkan hasill karya yang sedemikian produktif? Para ulama menulis didasari keikhlasan sebagai investasi akhirat (dakwah). Dalam hadits disebutkan, bahwa mereka adalah pewaris para Nabi [HR. Bukhari, Abu Daud, dan Turmudzi].

Bagi mereka menulis bukan sekadar urusan hobi, karena mereka adalah penerus estafet perjuangan para Nabi, maka menulis adalah urusan investasi akhirat. Menulis itu untuk meninggikan kalimat Allah ﷻ.

Manajemen waktu yang mantap dan brilian. Mereka sadar betul bahwa waktu adalah nafas kehidupan. Sehingga, memanfaatkannya adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang ingin sukses. Sebagai contoh riil tanpa bermaksud membatasi, Ibnu Jarir At-Thabari yang mampu menulis 40 lembar tulisan dalam sehari sangat pandai dalam mengatur waktu.

Muridnya sendiri al-Qadhi Abi Bakar bin Kamil-memberi kesaksian bahwa beliau mempunyai waktu khusus untuk menulis dari ba`da Dzuhur hingga Ashar [baca: Qīmatu al-Zaman, hal. 44]. Bahkan, menjelang meninggal pun ia menyempatkan diri untuk mencatat ilmu [hal. 44].

Ibnu Rusyd dalam sejarah tidak pernah meninggalkan malam-malamnya, kecuali membaca buku. Beliau selalu begitu, kecuali dua malam saja: Pertama, waktu ayahnya wafat. Kedua, waktu malam pengantin [baca: Kaifa Tushbinu `Āliman, Rāghib al-Sirjāni].

Lebih dari itu, ada cerita unik mengenai Tsa`lab al-Nahwi [Ahmad bin Yahya al-Syaibani], di antara sebab wafatnya ialah karena ditabrak kuda ketika membaca buku hingga jatuh ke jurang [baca: wafayātu al-A`yān, Ibnu Khillikan, 1/104].

Kakek Ibnu Taimiyah pun juga sangat bagus dalam manajemen waktu. Ia minta dibacakan buku ketika sedang buang hajat, supaya waktunya tidak sia-sia [baca: Dzailu Thabaqāt al-Hanābilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 2/249].

Cerita-cerita tersebut, menunjukkan bahwa mereka sangan pandai mengatur waktu. Sehingga, wajar kalau mereka sangat produktif menulis. Bagi siapa saja yang ingin produktif menulis, maka tak ayal lagi harus menapaktilasi jejak para ulama dalam manajemen waktu.

Posting Komentar

0 Komentar