
Oleh: Nabila Zidane
Analis Mutiara Umat Institute
Secara fisik kemerdekaan ini adalah sesuatu yang harus kita syukuri namun apakah kemerdekaan ini ada pada bangsa kita secara nonfisik? Maka kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan merdeka.
Berbicara tentang kemerdekaan, jika berpatokan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka mempunyai tiga arti, yakni sebagai berikut:
- Bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri;
- Tidak terkena atau lepas dari tuntutan;
- Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa.
Jadi, merdeka itu adalah suatu keadaan seseorang itu bebas, seseorang itu bisa melakukan apapun yang dia inginkan dan sebenarnya tidak ada sesuatu yang namanya bebas yang tidak bersyarat. Bebas itu ada maknanya dan ada syaratnya.
Jika kita lihat tentang masalah kemerdekaan di Indonesia telah dijelaskan dalam undang-undang dasar di pembukaan setidaknya ada empat tujuan Indonesia ini dibentuk, yaitu:
Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Bagaimana dengan melindungi segenap tumpah darah Indonesia sedangkan dimasa pandemi saja rakyat diberi solusi new normal life alias dipaksa hidup berdampingan dengan Corona, nyawa rakyat dipertaruhkan demi menghidupkan ekonomi.
Kasus kriminalitas, perampokan, pembunuhan didalam negeri masih tinggi.
Kedua, memajukan kesejahteraan umum.
Kalau dikatakan memajukan kesejahteraan umum maka yang kita lihat justru sebaliknya ketika dimasa sulit seperti pandemi ini, pemerintah justru menaikkan iuran BPJS, membiarkan rakyat membayar sendiri biaya rapid test dan swab test, tagihan listrik ikutan melejit, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hampir meluas di setiap provinsi, harga sembako naik dan lain-lain.
Orang-orang menjadi terbatas dari akses pekerjaan yang layak dan juga kehidupan yang senantiasa semakin sulit pada saat ini. Semua ini tak lepas dari dianutnya sistem kapitalis dalam mengatur kehidupan, dimana negara tidak menjadi raa'in atau pengurus umat tapi hanya berperan sebagai regulator saja.
Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mencerdaskan kehidupan bangsa, Ini pun juga kita pertanyakan.
Setiap tahun terdapat ratusan ribu anak kehilangan kesempatan bersekolah yang pernah dirasakan pada tahun ajaran sebelumnya.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, kasus anak putus sekolah juga semakin banyak. Menurut Didik Darmanto, Pemerhati Pendidikan, (Bekerja di Kementerian PPN/Bappenas) mengatakan angka drop out pada jenjang SD/MI/Sederajat sebesar 26.296 anak, jenjang SMP/MTs/Sederajat sebesar 93.323 anak, dan jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat sebesar 133.372 anak.
Sementara itu putus sekolah karena tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dari SD/MI/Sederajat ke jenjang SMP/MTs/Sederajat sebesar 56.374 anak, dan tidak melanjutkan ke jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat sebesar 181.946 anak.
Lebih dari separuh kasus anak putus sekolah pada tahun ajaran baru terjadi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar untuk kasus drop out, yakni 104.428 anak, disusul Jawa Timur 82.544 anak, dan Jawa Tengah 53.268 anak.
Pada tahun 2022, total terdapat 3.847.780 anak putus sekolah. Yakni 491.311 anak usia sekolah yang drop out pada tahun ajaran baru yang terdiri dari 252.991 anak putus sekolah di tengah jenjang dan 238.320 anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada tahun ajaran baru, serta 3.356.469 anak usia sekolah yang sudah drop out pada tahun-tahun ajaran sebelumnya. (republika.co.id, 20/7/2023)
Semua itu karena mahalnya biaya sekolah. Mencerdaskan kehidupan bangsa seolah-olah menjadi sebuah ironi, kenapa? Karena seolah-olah yang boleh sekolah hanyalah orang-orang yang punya uang, orang-orang yang kaya. Sementara yang tidak punya uang akan terbatas aksesnya terhadap pendidikan. Generasi yang bodoh sangatlah rentan menjadikan negeri ini gampang dijajah secara pemikiran baik dibidang akidah, sosial, budaya dan lain-lain. Inilah yang dinamakan penjajahan non fisik berupa perusakan pemikiran umat sehingga mereka phobia terhadap ajaran agamanya sendiri yaitu Islam.
Keempat, ikut berpartisipasi aktif dalam perdamaian dunia.
Ikut aktif untuk perdamaian dunia? Kasus Palestina, kasus rohingya, kasus Uighur, kasus penindasan muslim India dan lain-lain, kita bisa melihat ternyata Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya mengutuk saja dan ini pun bisa menjadi pertanyaan, apa sih sebenarnya kemerdekaan yang hakiki?
Kemerdekaan Hakiki
Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah ﷻ sesungguhnya berarti mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk umat manusia. Inilah yang merupakan misi utama Islam. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia.
Terkait misi kemerdekaan Islam ini, Rasulullah ﷺ pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:
«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»
…Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Misi Islam mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rabi bin Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra). Ia diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia.
Jenderal Rustum bertanya kepada Rabi bin Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rabi bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).
Semua itu akan menjadi nyata jika umat manusia mengembalikan hak penetapan aturan hukum hanya kepada Allah ﷻ dan Rasul ﷺ Caranya dengan memberlakukan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Tanpa itu, kemerdekaan hakiki, kelapangan dunia dan keadilan Islam tak akan pernah bisa terwujud. Selama aturan, hukum dan sistem buatan manusia yang bersumber dari akal dan hawa nafsu mereka terus diterapkan dan dipertahankan maka selama itu pula akan terus terjadi penjajahan, kesempitan dunia dan kezaliman. Allah ﷻ telah memperingatkan hal itu:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS. Thaha: 124)

0 Komentar