
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Dilansir dari suaramerdeka.com, 2 September 2023, Sebelumnya media sosial dihebohkan dengan aksi pengrusakan pagar dan atap rumah warga demi Karnaval Sound Horeg (Karnaval Sound System). Kini aksi serupa terjadi di Kecamatan Tempursari, Kab. Lumajang, Jawa Timur.
Berawal dari video yang diunggah oleh akun Instagram @terang_media pada Jumat (01/09/2023) lalu. “Viral sejumlah pohon ditebang karena dinilai dapat mengganggu Karnaval Sound Horeg yang hendak melewati jalan tersebut.” Dalam video kedua berlatar di malam hari, nampak bagaimana kondisi jalan tersebut saat dilewati truk Karnaval Sound Horeg, dimana ukuran truk pengangkut Karnaval Sound Horeg itu memang cukup besar dan wajar jika akhirnya pohon disekitar jalan itu harus ditebang.
Namun banyak yang menyayangkan tindakan tersebut, Karnaval Sound Horeg dianggap tidak terlalu membawa dampak positif. Bahkan lebih ke arah tak berguna, seperti yang ditulis akun Instagram @fitri1126, “merusak rumah dan pagar bisa diganti dalam sehari, namun untuk pohon kembali seperti sebelum ditebang bisa dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Pawai sehari, pohon tumbuh butuh bertahun.”
Di beberapa wilayah malah sudah terbit larangan, seperti di Kota Kediri, Polres Kediri melarang penggunaan sound system skala besar dalam kegiatan pawai pada kegiatan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia tahun ini. Kepala Polres Kediri, AKBP Agung Setyo Nugroho mengatakan, “Bila masih ada kegiatan sound system keliling tentunya kita akan bubarkan. Untuk Kapolsek maupun Polsek bila butuh backup dari Polres Kediri tentunya kita siap untuk membubarkan atau menertibkan” (metaranews.co, 8/8/2023).
Semakin Unfaedah Semakin Viral
Di beberapa wilayah, memang sudah lazim merayakan sesuatu dengan menggunakan sound system raksasa, tak cukup satu buah, terkadang dibuat bertumpuk-tumpuk hingga beberapa tingkat. Seperti di Sidoarjo yang setiap tahunnya merayakan upacara petik laut atau perayaan Nyadran. Beberapa pemuda akan menumpuk sejumlah sound system di atas perahu dan melaju ke arah laut mengiringi perahu yang membawa sesaji petik laut.
Dengan alunan musik jedag-jedug yang memekakkan telingan dan membuat beat jantung pun berdetak lebih kuat, para pemuda itu berjoget, merokok hingga minum minuman keras. Tak ada tindakan berarti dari aparat, sebab hitungannya adalah perayaan. Sungguh miris, kita sejatinya sedang terjebak dalam kegiatan yang samasekali tak membawa manfaat.
Bahkan cenderung menampakkan sikap egois, tak peduli lingkungan sekitar, jika di Lumajang pohon-pohon menjadi korban pemotongan, di beberapa wilayah lainnya malah rumah yang atapnya berjatuhan, tembok rumah retak dan lainnya. Kalaulah ada ganti rugi kepada pemilik rumah namun apa manfaatnya? Terkadang yang lebih konyol, semua hanya untuk memenuhi target konten. Maklum, era digitalisasi sedang digaungkan. Artinya, tak butuh pendidikan tinggi, semua bisa diangkat karena mendatangkan materi atau keuntungan.
Karnaval Horeg sama sekali tak berkorelasi dengan kondisi umat yang terpuruk dalam segala sisi, bahkan acara ini menunjukkan betapa alam berpikir generasi muda tak memiliki visi misi terbaiknya. Mereka terjebak dalam aktifitas nirguna, padahal pada saat Islam memimpin peradaban, para pemuda ada di garda terdepan dalam membela agama yang menjadi keyakinannya. Sebut saja Usamah bin Zaid menjadi panglima perang dalam usia 18 tahun. Atau Muhammad Al-Fatih menjadi panglima perang, pemimpin negara sekaligus penakluk Konstantinopel di usia 21 tahun. Dan masih banyak lainnya.
Usia muda yang luar biasa, tenaga dan pikirannya tak terjebak tipu daya dunia, sejarah mencatatnya dengan tinta emas. Tentulah semua ini karena pendidikan Islam yang mereka terima, yang mentauhidkan Allah ï·» dalam setiap tindakan dan kata-katanya. Berikut karena suasana keimanan yang dibangun oleh negara. Semua orang “dipaksa” menyadari bahwa kehidupan dunia bukan sekadar tempat untuk berburu materi namun untuk menjemput rida Ilahi.
Itulah mengapa, seluruh kebutuhan pokok rakyat perindividu (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kesehatan) menjadi tanggung jawab negara, dengan skema pembiayaan dari kas negara atau Baitul mal. Dengan penjaminan itulah, ibadah menjadi lebih mudah dijalankan, segala kesyirikan dan kekufuran dihilangkan, karena itulah kunci kelemahan dan kehancuran manusia, disebabkan persekutuannya dengan setan.
Kapitalisme menjadikan praktik-praktik khurofat, takhayul, klenik dan lainnya sebagai sumber pendapatan dan eksistensi diri. Sedang Islam, hanya jalan ketakwaan yang bisa diterima. Terlebih setiap perbuatan ada hisabnya. Bukankah lebih cerdas jika lebih banyak mempersiapkan amal salih yang produktif? Sebagaimana Allah ï·» berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (TQS al-Hasyr [59]:18). Wallahu a'lam bish showab.

0 Komentar