KAPITALIS SEKULER PENYEBAB MENINGKATNYA KASUS PERCERAIAN


Oleh: Annisa Putri Firdaus
Muslimah Peduli umat

Kasus perceraian di Indonesia terbilang tinggi. Setidaknya ada 516 ribu pasangan yang bercerai setiap tahun. Di sisi lain, angka pernikahan justru mengalami penurunan. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Dr Kamaruddin Amin menjelaskan, jumlah perceraian terbilang fantastis.

Penyebab utama perceraian hingga 55% jumlahnya adalah karena percekcokan. Sementara itu, perceraian akibat KDRT hanya 6.000-an kasus, tetapi angkanya makin meningkat dari tahun ke tahun.

Lebih miris lagi sebanyak 80% perceraian terjadi pada pasangan usia muda dengan penyebab yang berbeda-beda, misalnya karena poligami, penjara, judi, dan politik. Selain itu, 67% di antaranya adalah cerai gugat istri kepada suami. Bahkan ada pula kasus perceraian yang sebabnya bukan karena persoalan ekonomi atau KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual.

Selain itu kemiskinan ekstrem dan tingginya angka stunting berdampak pada angka perceraian hingga mencapai 20 ribu pasangan.

Dengan demikian, dalam rangka menguatkan bangunan keluarga dan mencegah perceraian, Ditjen Bimas Islam Kemenag memang memiliki program Bimbingan Perkawinan Pranikah bagi Calon Pengantin (Bimwincatin). Program tersebut diklaim sangat penting untuk memberikan edukasi kepada mereka yang hendak menikah. Hal ini khususnya untuk mencegah kerapuhan perkawinan dan menguatkan ketahanan keluarga karena kedua hal ini bisa menjadi parameter bagi tinggi rendahnya angka perceraian.

Tapi apakah bisa menjadi solusi atas meningkatnya kasus perceraian yang ada?

Padahal banyak pula undang-undang yang sudah dirumuskan untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga atau mengurangi kasus KDRT tapi tetap tidak berhasil. Ada pun undang-undang yang melarang pernikahan usia muda. Namun nyatanya, undang-undang tersebut tidak mampu mengurangi pernikahan usia muda. Padahal dampaknya, perceraian didominasi oleh pasangan usia muda di bawah lima tahun usia pernikahan.

Selain itu penyebab perceraian nyatanya juga tidak sekadar faktor internal berupa kekurangsiapan individu. Faktor eksternal, bahkan yang sifatnya sistemis seperti LGBT dan kemiskinan ekstrem, bukankah hal-hal tersebut perlu diatasi juga?

Semua ini menegaskan bahwa rapuhnya bangunan keluarga di era yang semakin modern ini sungguh tidak sekadar hoax belaka. Ini masih belum tantangan kehidupan serba duniawi yang menyilaukan pandangan akan kehidupan sehingga orientasi hidup menjadi bergeser bahkan kosong dari visi-misi hakiki, yakni visi-misi akhirat.

Selain itu faktor eksternal juga bisa berpengaruh pada pernikahan sehingga berujung perceraian, bahkan sifatnya sistemis, tentu kondusifitas kehidupan pernikahan juga memerlukan peran negara sebagai penegak syariat Islam kaffah (Khilafah) agar pernikahan tersebut tetap terjaga dalam koridor sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Kehidupan sekuler yang begitu pekat saat ini memang telah begitu mudah dan kuat mengikis kebahagiaan rumah tangga. Faktor-faktor seperti kemiskinan, LGBT, perselingkuhan, pergeseran orientasi hidup, pengaruh deras dan bebasnya media, hingga masyarakat yang rawan maksiat sejatinya turut menyumbang dampak negatif terhadap rapuhnya bangunan keluarga.

Selain penjagaan Khilafah terhadap ketakwaan individu, faktor-faktor tersebut juga harus diatur oleh negara sehingga tidak berlarut-larut menjadi mimpi buruk dalam kehidupan masyarakat. Maka hanya dengan Khilafah-lah, rapuhnya pondasi keluarga Islam dapat teratasi. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar