
Oleh: Arik Rahmawati
Sahabat Surga Cinta Qur'an
Dalam Al-Qur'an surat Ali 'Imran Ayat 31 menerangkan:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
31. Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Mencintai Allah dan mencintai nabi itu satu paket tidak bisa dipisahkan. Jangan berharap surganya Allah jika kita tidak mengikuti petunjuk nabi.
Beredar postingan video anak seorang ulama yang tidak berhijab karena berdalih memakai analogi. Maka sikap terbaik yang harus kita lakukan adalah tabayyun dengan ulama yang memahami hukum Al-Qur'an terkait penutup aurat bagi seorang wanita.
Kita bisa cek di kitab Al-Qur'an dan di dalam hadist rasul bahwa menutup aurat bagi wanita itu wajib sebagaimana wajibnya sholat. Tak ada perbedaan di kalangan para ulama terkait dengan kewajiban menutup aurat ini. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Menyikapi hal demikian maka kita sebagai seorang muslim cukup mengingkari pernyataan kontroversial tersebut. Ini menjadi perhatian bagi kita bahwa Al-Qur'an lah yang menjadi dasar hidup kita, pedoman hidup kita, standar baik dan buruk kita. Meski ada seorang ulama besar yang membolehkan buka aurat tidak serta merta kita boleh mengikutinya. Kita harus mengembalikan seluruh standar kehidupan kita kepada Al-Qur'an dan as-sunnah.
Di sinilah sikap kehati-hatian kita diperlukan. Kita tidak boleh sekedar ikut-ikutan. Karena klaim kita cinta Allah maka kita harus mengikuti nabi termasuk dalam hal berpakaian. Jika kita mengklain cinta Allah tapi tak mengikuti syaria yang dibawa nabi maka cinta kita cinta palsu. Mengapa? Karena hukum Allah kita utak-atik sendiri tanpa mempertimbangkan dengan hukum syara yang benar.
Jalan menuju surga Allah itu bermacam-macam. Inilah dalih yang dipakai oleh para penyeru kebatilan. Dia menganggap mencapai surga Allah tak harus berhijab tetapi bisa dengan cara lain. Misalnya sepuluh itu surga. Untuk mencapai sepuluh maka tak harus 5+5 bisa 6+4 bisa 7+3. Nah inilah alasan sesat pikir menganalogikan hukum Allah dengan analogi demikian. Ujung-ujungnya nanti hukum Allah bisa dianalogikan secara keseluruhan mengikuti hawa nafsu kita.
Kalau analoginya itu dipakai ketika kita masuk rumah orang tak harus melalui pintu depan tapi bisa lewat jendela, atap rumah atau genteng. Maka analogi demikian bisa berbahaya jika diterapkan. Maka tak selayaknya kita mengutak-atik syariat Islam.
Sebagai seorang muslim jika Allah meminta kita untuk taat pada syariat maka jawabannya semestinya samikna wa athakna. Kami mendengar dan kami taat bukannya membuat dalih lain untuk mengingkarinya.

0 Komentar