
Oleh: Amalia Nurul Viqri, S.Pd
Muslimah Peduli Umat
Kasus Rempang belum usai, warga Melayu di Rempang masih menjerit pilu. Lahan yang sudah mereka tempati sejak turun-temurun, dipaksa pemerintah untuk di kosongkan dengan segera hanya demi cuan. Lahan tersebut akan dibangun Rempang Eco-City dan di Kepulauan Rempang akan dibangun industri silika juga solar panel milik perusahaan Cina.
Penolakan, tangisan dan jeritan rakyat seolah-olah hanya drama. Pemerintah tetap bersikukuh dengan rayuan investasi China. Hanya saja akhir-akhir ini beredar berita tentang pengosongan lahan dibatalkan, entah apa yang akan dilakukan pemerintah nantinya.
Rencana relokasi sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis (28/9/2023) urung dilaksanakan. Ratusan aparat kepolisian yang sebelumnya dipanggil untuk mengamankan pengosongan kampung-kampung di Rempang, Kepulauan Riau, disebut sudah dipulangkan. (Republika, 29/9/23)
Meski Pulau Rempang batal dikosongkan pada Kamis (28/09) seperti rencana awal pemerintah, masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, mengaku masih cemas dan waspada. Sebab sampai saat ini, pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua. (BBCNewsIndonesia, 28/9/23)
Demi Cuan
Itulah label sistem Kapitalisme, siapa yang punya modal maka ia berkuasa. Alih-alih karena cuan, pemerintah rela mengabaikan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah sering mengumbar janji dan tidak ditepati, warga sudah mau digusur, tetapi rumah yang dijanjikan belum ada wujudnya. Rakyat terus merugi dan sengsara. Program Strategis Nasional (PSN) akhirnya hanya menjadi momok menakutkan bagi masyarakat karena lahan dan harta mereka dirampas secara paksa. Dengan berbagai kerusakan ini, rakyatlah yang menjadi korban utama dan pertama.
Islam Solusinya
Dalam Islam haram hukumnya merampas tanah rakyat Nabi ﷺ telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Beliau bersabda:
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh lapisan bumi kepada dirinya.” (HR Muttafaq ‘alaih)
Kasus Rempang tidak akan terjadi jika Islam diterapkan, karena Islam mengelola SDA dan kepulauan dengan sedemikian rupa baiknya. Ustadz Ismail Yusanto menyatakan bahwa pengaturan Islam terhadap persoalan ini, yakni mesti didudukkan terlebih dahulu, ini sebenarnya milik siapa?
“Milik individu, milik umum, atau milik negara. Negara itu boleh menyerahkan kepada siapa pun sepanjang lahan atau wilayah itu milik negara atau milkiyah Daulah. Tapi ketika itu milik umum, apalagi milik pribadi, negara tidak boleh semena-mena menyerahkan kepada investor, seperti Pulau Rempang ini,” urainya.
Maka jelas, lahan tidak akan diberikan kepada siapa pun hanya karena kepentingan pribadi. Sekalipun kasus tanah yang ditelantarkan, Islam ada solusinya. Yakni penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Bahwa rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Oleh karena itu, Islam adalah pilihan tepat. Dalam pandangan Islam, penguasa itu hadir sebagai pelayan rakyat, bukan pelayan para konglomerat. Negara wajib memastikan terwujudnya kemaslahatan di tengah rakyat.
Wallahua'lam bisshawab

0 Komentar