
Oleh: Ai Siti
Muslimah Peduli Umat
Mendikbudristek Nadiem Makarim melaporkan, hingga 23 November 2023, penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100% target, yaitu telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima.
Sebelumnya, setiap tahun bantuan itu menelan anggaran sebesar Rp9,7 triliun yang diberikan kepada 17,9 juta pelajar. Pada 2024 ini, Kemendikbudristek menambah sasaran untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan SMK sebanyak 99.104 pelajar.
Penambahan jumlah sasaran tersebut bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula Rp1.000.000 (per tahun) menjadi Rp1.800.000 (per tahun) untuk pelajar SMA dan SMK. Sedangkan untuk jenjang SD senilai Rp450.000 per tahun dan SMP Rp750.000 per tahun.
Terkait belanja prioritas 2024, alokasi dana untuk bidang pendidikan adalah sebesar Rp665,0 triliun. Kemendikbudristek sendiri mengelola dana sebesar Rp98,9 triliun yang akan diprioritaskan untuk program-program perluasan wajib belajar dan bantuan pendidikan, dalam rangka mendukung transformasi ekonomi inklusif dan berkelanjutan.
Untuk program prioritas pendidikan pada 2024, dana PIP selain untuk jenjang SD - SMA/SMK meliputi KIP Kuliah yang ditargetkan untuk 985.577 mahasiswa dengan alokasi anggaran sebesar Rp13,9 triliun. Program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) ditargetkan untuk 3.943 siswa dengan alokasi sebesar Rp107 juta. Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) ditargetkan untuk 9.276 mahasiswa dengan alokasi anggaran sebesar Rp7,7 miliar.
Kemudian, dalam rangka peningkatan SDM dan pemerataan layanan pendidikan berkualitas, pemenuhan sarana prasarana pendidikan diwujudkan melalui program Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pendidikan. Pada Tahun Anggaran 2024, DAK Fisik Bidang Pendidikan dialokasikan sebesar Rp15,29 triliun untuk pemenuhan sarana prasarana di 12.626 satuan pendidikan seluruh Indonesia, untuk jenjang PAUD, SD, SMP, SKB, SMA, SLB dan SMK.
Nadiem mengeklaim, kualitas pelaksanaan program PIP adalah bagian dari upaya pemerataan hak dan kualitas pendidikan. Bantuan PIP ini bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Dengan begitu semua anak Indonesia diharapkan dapat merasakan manfaat dari program tersebut. Untuk itu, para pelajar diharapkan pandai mengatur dana bantuan PIP yang sudah diberikan.
Hanya saja, menilik nominal bantuan yang diberikan dengan skalanya yang per tahun, sejatinya tidak sepadan dengan harga-harga kebutuhan sekolah peserta didik. Coba saja kita hitung, misalnya untuk yang jenjang SD. Jika besaran bantuannya Rp450.000 per tahun, maka per bulan bantuan itu hanya senilai Rp 37.500. Untuk pembelanjaan alat belajar, nominal tersebut hanya cukup untuk membeli buku tulis satu pak yang berisi 10 buku.
Sementara itu, kebutuhan sekolah tidak hanya buku tulis. Masih ada kebutuhan lainnya, seperti alat tulis, buku pelajaran, baju seragam, juga uang jajan harian anak-anak. Belum lagi dengan sejumlah agenda ke luar sekolah seperti Kegiatan Tengah Semester (KTS) yang wajib di setiap tengah semesternya, yang tentu saja ada dana pribadi dari pihak peserta didik.
Problematik pembiayaan dunia pendidikan tidak hanya sampai di situ. Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata akan adanya angka putus sekolah. Ini sungguh ironis. Di tengah kenaikan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, jumlah anak putus sekolah di Indonesia justru bertambah. Berdasarkan data Kemenkeu, anggaran pendidikan 2023 mencapai Rp612,2 triliun. Jumlah itu mengalami kenaikan dibanding 2022 yang berjumlah Rp574,9 triliun.
Data dari Kemendikbudristek menyebutkan, pada tahun ajaran pendidikan 2022/2023, jumlah anak putus sekolah meningkat dari tahun ajaran sebelumnya, kecuali pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sepanjang tahun ajaran 2022/2023, jumlah siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa mayoritas (76%) keluarga menyatakan penyebab utama anak mereka putus sekolah adalah karena alasan ekonomi. Sebagian besar (67,0%) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7%) harus mencari nafkah.
Kemiskinan bisa memicu anak-anak menjadi putus sekolah karena mereka terpaksa harus membantu orang tuanya mencari nafkah. Angka putus sekolah pun didominasi oleh siswa laki-laki. Jumlah siswa putus sekolah laki-laki lebih besar 15,29% daripada perempuan.
Selain kemiskinan, salah satu faktor tingginya angka putus sekolah siswa laki-laki adalah fenomena pekerja anak. Anak laki-laki cenderung lebih mudah menjadi tenaga kerja dibandingkan perempuan. Faktor inilah yang selanjutnya menyebabkan angka pekerja anak, khususnya laki-laki lebih tinggi sehingga berbanding lurus dengan angka putus sekolah siswa laki-laki.
Mencermati semua itu, lantas jika tujuan pemberian PIP adalah untuk pemerataan kualitas pendidikan, sebenarnya sisi sebelah mananya dari kualitas pendidikan itu yang sungguh-sungguh bisa ditambal oleh dana PIP?
Pemerintah boleh saja membanggakan serapan 100% dana PIP. Hanya saja selain jumlah nominalnya yang rendah serta adanya peningkatan angka putus sekolah dan kemiskinan, dana PIP seolah sekadar “aroma pewangi” yang lewat begitu saja.
Jelas, keberadaan PIP ibarat pepesan kosong. Nominalnya tidak sepadan dengan bantuan yang sejatinya dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut jumlahnya saja jelas mustahil menyasar setiap individu anak Indonesia. Tidak pelak, pemerataan kualitas pendidikan yang dijargonkan pada akhirnya malah berselisih jalan dengan kualitas pendidikan, bahkan nasib peserta didik itu sendiri.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Juga dalam hadis, “Imam/Khalifah itu laksana gembala (raa’in), dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jelas, semua aspek di bidang pendidikan akan berbeda ketika pendidikan diselenggarakan sebagai bagian dari kebutuhan publik sehingga tidak dibebankan kepada kantong individu rakyat. Akan sangat berat jika kebutuhan publik harus dibiayai secara pribadi. Itulah pentingnya bahwa pendidikan semestinya dibiayai oleh negara, yakni sebagai wujud pengurusan urusan umat dari penguasa kepada rakyatnya.
Sayangnya, kapitalisme memandang bahwa pendidikan yang sejatinya kebutuhan asasi masyarakat justru merupakan komoditas ekonomi. Belum lagi adanya UU Cipta Kerja yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu klaster ekonomi, tentu para lulusan sistem pendidikan cenderung mencetak generasi pekerja dibandingkan generasi pemikir dan pemimpin. Lantas, pada sisi mana kualitas pendidikan akan tercapai?
Berbanding terbalik dengan semua itu, Khilafah sebagai sistem pemerintahan negara Islam akan menyelenggarakan pendidikan sebagai kebutuhan asasi publik. Posisi pendidikan sebagai bagian dari kewajiban thalabul ilmi (menuntut ilmu) pun ditunaikan secara proporsional. Lebih dari itu, pendidikan adalah prototipe peradaban masa depan. Pendanaan pendidikan dalam Khilafah pun ditanggung seutuhnya oleh negara.
Tidak heran jika format pendidikan dalam Khilafah ini jauh dari kata menzalimi rakyat atas nama kualitas rendah yang diiringi biaya tinggi. Sebaliknya, sistem pendidikan era Khilafah siap mencetak khairu ummah (generasi terbaik) dan berkualitas dengan biaya gratis dari negara. Rakyat tidak dibiarkan memikirkan dan terbebani secara individual akan keberlangsungan pelaksanaan pendidikan berikut pembiayaannya.
Di dalam kas baitulmal, Khilafah memiliki banyak pos pendanaan yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan publik sebagaimana pendidikan. Baitulmal memiliki jalur-jalur harta kepemilikan umum yang siap untuk mendanai pendidikan pada berbagai jenjang serta dengan sarana dan prasarana terlengkap.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar