DAPATKAH AMERIKA SERIKAT BERTAHAN SEBAGAI NEGARA SUPER POWER?


Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik dan Perubahan

Secara data kekuatan militer Amerika Serikat (AS) masih tercatat yang paling kuat di dunia, dengan perbelanjaan militer mencapai USD 880 miliar atau sekitar 13,4% dari total pengeluaran APBN AS yang mencapai USD 6.1 triliun di tahun 2024.

Besarnya belanja militer AS tidak terlepas dari keterlibatan AS dalam berbagai perang yang ada di dunia, angaran tersebut sangat besar dan lebih besar dibandingkan dengan gabungan anggaran pertahanan 10 negara terbesar lainnya (Cina, Rusia, India, Arab Saudi, Inggris, Jerman, Prancis, Korea Selatan, Jepang, dan Ukraina).

Anggaran yang sangat besar itu saat ini menuai kritik dari publik di AS sendiri, terutama karena bantuan militer untuk Ukraina yang dianggap tidak memiliki hasil pasti dan tidak ada kemajuan yang signifikan. Padahal Ukraina telah mendapatkan pasokan persenjataan yang melimpah dari negara-negara Barat yang dimotori AS. Bahkan persediaan senjata Eropa dan beberapa stok senjata AS dilaporkan semakin menipis.

Responden dari Gallup Survey mencatat bahwa, 61% warga Amerika mengatakan bantuan keuangan yang diberikan kepada Ukraina oleh Washington seharusnya memiliki batasan, sementara hanya 37% percaya bahwa AS seharusnya terus memberikan bantuan selama Ukraina meminta.

Keterlibatan AS dalam perang Irak dan Afganistan juga turut menghabiskan anggaran yang besar. Brown University menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan AS pada Perang Irak dari tahun 2001 dan Perang Afganistan berjumlah USD 3,4 triliun dan USD 3,2 triliun. Jika ditambah dengan anggaran untuk Homeland Security total belanjanya menjadi USD 8 triliun. Nilai ini setara dengan Rp 120 ribu triliun dengan asumsi kurs Rp 15,000 per USD.

Selain permasalahan anggaran yang semakin membengkak, AS juga memiliki masalah pada teknologi militernya yang mulai tersaingi oleh Cina. Seperti diketahui, China saat ini sedang memperluas kekuatan nuklir dan meningkatkan ancaman terhadap Taiwan, sekutu AS. Kecemasan ini diungkapkan Kepala Staf Gabungan, Jenderal Mark Milley, bersama Menteri Pertahanan Lloyd Austin di DPR yang meminta peningkatan anggaran pertahanan sebesar $842 miliar dan menjadi rekor baru.

Melemahnya militer AS diungkap juga oleh The Heritage Foundation. Lembaga survei yang rutin memuat index kekuatan militer AS (Index of U.S. Military Strength) hasilnya menyebut di tahun 2023, kekuatan militer AS sangat beresiko jika ada konflik regional besar yang terjadi, jika AS masih menjalankan berbagai kegiatan militer di negara lain. AS tidak akan siap untuk menghadapi dua konflik regional besar yang hampir bersamaan, ditambah dengan lemahnya sekutu militer kunci AS.


Ekonomi AS Melemah

Selain angaran militer AS yang membengkak, ekonomi AS juga tercatat mengalami pelemahan sehingga tidak bisa terus menggenjot anggaran militernya. Dikutip dari Peterson Foundation, belanja pertahanan AS diduga akan menurun 10 tahun ke depan, yaitu dari 3,1% dari PDB pada tahun 2023 menjadi 2,8% pada tahun 2033. Angka ini jauh lebih rendah dengan rata-rata pengeluaran pertahanan dalam 50 tahun terakhir sebesar 4,3% dari PDB.

Sekali lagi, Cina kembali menjadi pesaing AS dalam kekuatan ekonomi. Pada tahun 2022, sumbangan ekonomi AS terhadap ekonomi global mencapai 24,9%. Namun, angka ini berkurang drastis dibandingkan dengan dua puluh tahun lalu. Saat itu ekonomi AS menyumbang 32,4% ekonomi global. Pertumbuhan pesat negara-negara Asia, khususnya Cina, ditambah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di AS, menyebabkan kekuatan ekonomi AS di posisi global semakin terkikis.

Ketimpangan ekonomi yang meningkat tajam secara signifikan di AS menambah masalah ekonomi di tubuh internal AS. Menurut World Inequality Report, 10% penduduk terkaya di AS menguasai 70,7% kekayaan di negara itu, sementara 1% penduduk menguasai 34,9% kekayaan di tahun 2022 yang mengakibatkan dorongan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih lambat.

Penduduk miskin di AS juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara kaya lainnya yang tergabung dalam OECD. Pada tahun 2022, persentase penduduk miskin di AS mencapai 11% atau sekitar 38 juta orang. Penduduk miskin paling besar berada di kalangan penduduk kulit hitam (17,1%), hispanik (16,9%), serta penduduk Indian Amerika dan penduduk asli Alaska (25%).


Masalah Sosial Meningkat

Publik AS juga menghadapi masalah krusial terkait dengan mahalnya pemenuhan kebutuhan dasar, seperti kesehatan dan perumahan. Penduduk AS, misalnya, mengeluarkan dana yang jauh lebih besar untuk layanan kesehatan dibandingkan dengan negara-negara lain, namun tidak memiliki hasil layanan kesehatan yang lebih baik.

Sebanyak 49% penduduk AS mengatakan masalah keterjangkauan perumahan merupakan masalah besar bagi mereka. Naiknya harga rumah dan biaya sewa membuat banyak orang kesulitan untuk menemukan perumahan yang sesuai.

Konsumsi barang impor di AS telah melebihi kapasitas produksi yang diekspor ke negara lain. Selain itu banyak perusahaan lebih suka berinvestasi di luar AS karena dianggap lebih menguntungkan. Faktor seperti tenaga kerja yang lebih murah di negara lain memainkan peran dalam keputusan ini.

Pengeluaran untuk infrastruktur di AS menduduki peringkat bawah di antara negara-negara G20. Cina membelanjakan 4,8% dari PDB untuk infrastruktur atau hampir sepuluh kali lebih banyak dibandingkan dengan AS, yang hanya 0,5% dari PDB-nya.

Daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) di AS juga terus menurun, hal ini disebabkan oleh kurangnya investasi AS dalam pendidikan dan pengembangan SDM. Hal tersebut menyebabkan skor ujian siswa AS masih di bawah rata-rata global.

Berdasarkan data Programme for International Student Assessment, kemampuan siswa AS untuk bidang studi matematika terus menurun dari peringkat 15 pada tahun 2000 menjadi peringkat 38 pada tahun 2018.

Hal ini menjadi indikasi sulitnya warga AS bersaing pada industri yang berbasis sains dan teknologi. Untungnya, persoalan SDM terbantu oleh kebijakan imigrasi AS yang mempermudah masuknya penduduk asing dengan pendidikan dan keterampilan yang mumpuni.


Ancaman Utang

Salah satu persoalan ekonomi yang paling serius dihadapi AS adalah masalah utang yang semakin menggunung, yang kini hampir mencapai USD 35 triliun.  Presentase utang Pemerintah AS terhadap PDB terus meningkat  karena defisit anggaran yang semakin kronis. Menurut mantan Menteri Keuangan Larry Summers, defisit anggaran AS saat ini merupakan masalah serius. Pasalnya, menurut dia, defisit tahun 2023 mencapai USD 1,7 triliun atau sekitar 5,3% dari PDB, jauh di atas rata-rata 3,8% dalam 40 tahun terakhir. Dalam 10 tahun mendatang  (2024-2033) defisit kumulatif APBN AS akan mencapai  USD 17 triliun.

Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi pula biaya bunga utang yang harus dibayar oleh Pemerintah AS.   Bahkan perkiraan belanja bunga utang pada tahun 2027 akan mencapai USD 929 miliar, sudah lebih besar dibandingkan dengan belanja militer dan belanja medis (medicaid) yang masing-masing sebesar USD 926 miliar dan USD 652 miliar.

Beban utang dan biaya bunga yang meningkat tersebut akan mengurangi anggaran Pemerintah untuk melakukan investasi publik yang berguna mendorong pertumbuhan ekonomi dan perbaikan daya saing, seperti pendidikan, riset dan pengembangan, serta infrastruktur, sehingga akan semakin memperburuk keadaan.

Utang yang besar itu juga akan meningkatkan inflasi sehingga menggerus kepercayaan terhadap dolar AS. Dengan tingkat utang yang tinggi dan kepercayaan publik yang menurun, Pemerintah AS akan memiliki lebih sedikit fleksibilitas dalam menghadapi krisis, seperti  resesi besar tahun 2007–2009. Utang yang meningkat tajam tersebut juga akan mengancam jaringan pengaman  sosial AS seperti Medicaid dan Social Security. Ini akan membebani penduduk berekonomi lemah.


Kesimpulan

Bunga hutang yang terus menumpuk dan hilangnya kepercayaan publik juga akan berdampak pada menghilangnya para investor yang melepaskan kepemilikan mereka atas surat utang Pemerintah AS. Jika situasi ini terjadi, beban bunga dan pembayaran utang akan terus meningkat.

Pada akhirnya kondisi ini akan memaksa pengurangan anggaran belanja untuk sektor publik, termasuk militer. Jika tekanan ini berlanjut, bukan hanya keberlanjutan fiskal AS yang terancam pada masa mendatang, tetapi juga ekonomi negara tersebut.

Kemunduran bertahap posisi AS dalam kancah global menjadi indikasi melemahnya kekuatan AS sebagai negara super power dan kemungkinan besar posisinya akan tergantikan oleh negara lainnya.

Kekuatan AS ternyata tidak sekuat yang selama ini mereka citrakan, ditambah pengalaman AS di Vietnam, Irak dan Afganistan, yang memiliki peralatan militer relatif sederhana, telah menjadi mimpi buruk bagi pasukan AS. Negara super power AS telah nyata keropos di dalam tubuhnya dan perlahan melemah di kancah global.

Posting Komentar

0 Komentar