MENANG MODAL KEMBALI KALAH RUMAH SAKIT JIWA


Oleh: Siti Aminah
Aktivis Muslimah Kota Malang Jawa Timur

Pemilihan umum adalah ajang kesempatan untuk menjadi pemimpin bagi yang beruang, biaya caleg yang sangat mahal membuat sebagian caleg bisa mengalami gangguan jiwa bila mengalami kekalahan dalam pemilihan.

Pemerintah diharapkan menyediakan layanan kesehatan mental untuk para caleg yang gagal dalam pemilihan.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, dua hal itu sangat diperlukan.

Belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu, penyebabnya disinyalir banyak peserta pemilu yang berpotensi stres pasca-penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Secara khusus, Aziz juga mengingatkan kesiapan rumah sakit jiwa (RSJ) untuk menerima pasien yang membutuhkan penanganan lanjutan. (detikNews, 26/1/2024)

Pemerintah menyediakan layanan kesehatan mental untuk para caleg yang gagal mendapatkan kedudukan di pemerintahan, sejumlah RS/RSJ bersiap menangani caleg depresi akibat gagal terpilih. Persiapan ini sebagai antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya.

Dalam sistem demokrasi memandang kekuasaan adalah jalan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan untuk mendapatkan kursi kepemimpinan membutuhkan biaya yang sangat besar pula. kepemimpinan merupakan impian karena bisa mendapatkan materi yang sangat banyak dengan kedudukan tinggi semua bisa diatur dengan hukum buatan mereka sendiri yang hanya menguntungkan mereka sendiri.

Dalam sistem Islam, pemimpin dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia, tetapi untuk menjalankan hukum Allah Taala. Kewajiban seorang penguasa (al-hukkam) adalah menerapkan syariat Islam semata (lihat QS Al-Maidah [5]: 48, 49). Haram hukumnya penguasa menjalankan hukum yang bukan syariat Islam (lihat QS Al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Oleh sebab itu, pemilu dalam sistem Islam hanya sebagai wasilah memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam.

Islam juga menjadikan halal/haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan. Tidak akan terjadi politik kotor, curang, atau manipulatif karena setiap aktivitas berlandaskan pada keimanan. Tampuk kekuasaan bukanlah sarana meraih materi duniawi, melainkan untuk menerapkan hukum Allah demi meraih rida dan janah-Nya.

Dengan demikian, tujuan ukhrawi inilah yang akan menjaga pemimpin dari tindakan otoriter, zalim dan semena-mena. Ia akan melayani dan mengurus seluruh rakyatnya dengan segenap jiwa dan raganya karena meyakini bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas semua yang diurusnya.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)

Perbedaan sistem demokrasi dan Islam juga tampak jelas dalam pemilihan pemimpin di level daerah (biasa disebut pilkada atau pemilukada). Menurut pandangan Islam, pilkada justru menyalahi tata cara pengisian jabatan kepala daerah. Ini karena dalam sistem Islam, kepala daerah tidak dipilih penduduk daerah administratif setempat, melainkan diangkat oleh khalifah, sehingga tidak membuang waktu dan biaya yang tinggi, sangat hemat sehingga uang negara bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Demikianlah yang Rasulullah ﷺ contohkan dan diamalkan oleh para khalifah dari kalangan sahabat Nabi sesudahnya. Walhasil, kita pun wajib mengamalkannya.

Allah ﷻ berfirman yang artinya, “Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah, dan apa saja yang ia larang bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr [59]: 7)

Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah Amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan RasulNya.

Posting Komentar

0 Komentar