POLITISASI BANSOS: REALITAS DALAM SISTEM DEMOKRASI


Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat

Menjelang pemilihan umum 2024 yang semakin mendekat, Presiden Joko Widodo semakin giat memberikan program bantuan sosial kepada masyarakat. Semakin meningkatnya frekuensi pemberian bansos oleh presiden ini memunculkan beragam pertanyaan, karena diduga ada politisasi bansos ini dalam rangka mendukung kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. (BBC News Indonesia, 30/01/2024)

Politisasi bansos yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan para menteri yang terlibat dalam tim kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor 02, dianggap telah menyalahgunakan program bansos untuk mendapatkan dukungan suara bagi kandidat tersebut. Hal ini menjadi perhatian serius mengingat pejabat negara seharusnya tidak terlibat dalam kampanye, apalagi seorang presiden, dan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kepentingan kampanye merupakan pelanggaran yang serius.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah mengeluarkan himbauan agar kepala negara tidak terlibat dalam kampanye yang tidak pantas. Namun, himbauan tersebut dianggap kurang tegas dan tidak berdampak besar terhadap perilaku kampanye presiden. Meskipun terdapat kebijakan yang sudah mengatur hal ini, namun pelaksanaannya nihil dan tidak berhasil secara efektif dalam menegakkan hukum untuk mengatasi dan menghindari keterlibatan pejabat tinggi negara dalam proses kampanye.

Penyalahgunaan bansos oleh para pejabat untuk mempertahankan kekuasaan merupakan representasi sejati dari praktik demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan kerap kali menjadi tujuan yang bisa dikejar dengan berbagai cara. Politisi sering kali menggunakan segala cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, bahkan jika itu berarti menyalahgunakan posisi dan anggaran negara.

Fenomena penyalahgunaan kekuasaan ini dianggap sebagai sesuatu yang lumrah karena dalam sistem demokrasi, kebebasan individu menjadi hal yang diutamakan. Konsep kebebasan, termasuk kebebasan bertindak, menjadi salah satu prinsip dasar demokrasi. Hal ini karena demokrasi bersifat sekular, yang mengabaikan campur tangan agama dalam urusan publik, termasuk dalam ranah politik.

Di sisi lain, rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran politik di kalangan masyarakat memberikan celah bagi para pejabat untuk melakukan praktik yang curang. Sehingga kecurangan yang dilakukan oleh pejabat negara kemudian menjadi hal yang dianggap biasa oleh masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran politik yang rendah.

Kemudian, rendahnya kesadaran politik di kalangan masyarakat juga membuat mereka rentan terhadap tipu daya dan janji-janji materi dari pihak-pihak tertentu, yang merupakan dampak dari kualitas pendidikan yang buruk di negara ini dan tekanan kemiskinan yang menyulitkan kehidupan mereka. Akibatnya, masyarakat cenderung berpikir secara pragmatis dan mudah dimanfaatkan oleh para politisi untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Ketika kemiskinan menjadi masalah kronis bagi suatu negara, pemerintah seharusnya mengatasi masalah tersebut secara serius dengan memberikan solusi yang nyata. Bukan malah memanfaatkan kondisi kemiskinan rakyat dengan memberikan bantuan sosial (bansos) sebagai alat untuk memperoleh dukungan politik, apalagi menjelang pemilu.

Penyelesaian masalah kemiskinan memerlukan solusi yang komprehensif dari negara, bukan hanya bergantung pada pemberian bantuan sosial semata. Kemiskinan di Indonesia bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan juga merupakan hasil dari struktur yang ada dalam sistem politik dan ekonominya. Regulasi dari sistem pemerintah demokrasi-kapitalisme yang ada cenderung menguntungkan segelintir oligarki kapitalis, sehingga menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan memperparah kondisi kemiskinan.

Oleh karena itu, rakyat memerlukan langkah tegas dari pemerintah untuk mengakhiri dominasi sektor swasta dalam pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik umum. Sikap yang tegas ini tidak dapat terlaksana dalam sistem kapitalisme, karena sistem tersebut mendorong liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Hanya dalam sistem Islam, larangan tegas terhadap dominasi swasta dalam sektor kepemilikan umum dapat diimplementasikan secara efektif. Dalam sistem Khilafah, pengelolaan kekayaan alam akan dilakukan secara independen dan kekayaan yang merupakan milik umum akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan produk jadi, seperti bahan bakar minyak, serta layanan publik berkualitas seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang disediakan secara gratis.

Islam mengajarkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan setiap individu dalam masyarakat, dan Islam memiliki berbagai mekanisme untuk mencapai tujuan tersebut. Lebih dari itu, Islam menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ. Oleh karena itu, pemimpin atau penguasa diharapkan akan mengelola urusan rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip hukum syara.

Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab di hadapan Allah ﷻ, mereka tidak akan menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk memenuhi ambisi politik pribadi. Sebaliknya, mereka akan menggunakan kekuasaan yang diberikan sebagai amanah untuk melayani dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dengan penuh integritas dan kejujuran.

Dalam Islam, tindakan penyalahgunaan kekuasaan merupakan pelanggaran yang serius terhadap prinsip amanah dan takwa kepada Allah ﷻ, yang pada akhirnya akan berujung pada pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu, pemimpin Muslim yang sesungguhnya akan senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan etika Islam dalam setiap langkah-langkahnya, tanpa membiarkan ambisi politik pribadi mengaburkan tujuan mulia mereka dalam memimpin dan melayani umat.

Selain menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan kekuasaan yang berlandaskan pada hukum syara, Islam juga mendorong pembentukan sumber daya manusia yang berkarakter Islam. Ini termasuk dalam membentuk individu yang amanah dan jujur dalam menjalankan tanggung jawabnya. Negara diharapkan juga turut serta dalam mendidik rakyat dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam konteks pemilihan pemimpin. Tujuannya adalah agar umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang sesuai dengan syariat Islam.

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin yang berkualitas adalah mereka yang memiliki iman dan takwa kepada Allah ﷻ serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan jabatan. Oleh karena itu, seorang pemimpin Muslim tidak perlu mengandalkan pencitraan untuk mendapatkan dukungan rakyat, karena keberhasilan mereka sebagai pemimpin sejati terletak pada kesungguhan mereka dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Wallahu 'alam bish-shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar