BENARKAH SISTEM DEMOKRASI ATAU ISLAM RUSAK KARENA PENGUASANYA?


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

"Menurut saya, semua tergantung pada penguasa sebagai pelaksana sistem yang ada. Kisruh yang terjadi di Indonesia disebabkan karena penguasanya yang melanggar aturan dalam sistem demokrasi. Saya kira jikapun negara menerapkan sistem Islam tetapi jika pelaksananya melanggar aturan-aturan syariat, yang terjadi tidak akan jauh berbeda." tulis Cristiano di GWA Agama & Silaturahmi.

Saat penulis mengunggah artikel dengan judul 'Putusan MK: Muhasabah dan Refleksi Masa Depan Perjuangan Umat Islam', salah satu anggota GWA memberikan komentar. Intinya, problem kecurangan Pemilu karena kesalahan orang, bukan sistem. Andaikan sistem Islam diterapkan, kalau rezimnya keliru tetap saja bermasalah.

Memang benar, dalam artikel tersebut penulis memberikan simpulan bahwa masalah kecurangan Pemilu 2024 yang berujung putusan MK yang melegitimasi kecurangan, bukan merupakan tanda matinya demokrasi. Malah, semua itu justru mengkonfirmasi busuknya sistem demokrasi.

Dalam artikel, juga telah penulis paparkan argumennya. Karena itu, rasanya tak relevan jika diulas kembali dalam tulisan ini.

Saat ini, penulis ingin memberikan penjelasan tentang asumsi yang keliru, seolah yang bermasalah dalam kecurangan Pemilu dan sengkarut tata kelola bernegara hari ini hanya masalah rezim, bukan sistem. Lalu, penulis juga ingin membantah tentang asumsi dalam sistem Islam juga mungkin menyimpang, sehingga tak relevan memperjuangkan sistem Islam jika pada akhirnya juga potensial menyimpang.

Penulis awali dari asas dan tujuan menjalankan kekuasaan. Dalam sistem Islam, asas kekuasaan dibangun di atas akidah Islam. Tujuan kekuasaan adalah ibadah dan untuk meraih ridho Allah ï·».

Karena tujuannya mencari ridho Allah, maka kekuasan Islam menerapkan hukum Allah ï·». Sebab, setiap hukum yang diterapkan yang bukan hukumnya Allah ï·», meskipun dijalankan secara murni dan konsekuen, tetap saja tidak akan mendapatkan ridho Allah ï·». Bagaimana mungkin mendapatkan ridho Allah ï·», jika kekuasaan dijalankan dengan menentang hukum Allah ï·»?

Misalnya, dalam Islam orang yang berzina harus dihukum rajam. Ketika penguasa mengadili perkara zina, setelah terbukti maka pengadilan akan memvonis rajam bagi pezina, maka penguasa itu mendapat ridho Allah ï·», pezina yang bermaksiat juga dosanya tertebus dengan sanksi rajam yang diterapkan penguasa.

Hal ini, seperti yang terjadi pada era Rasulullah ï·º. Saat Maiz mengaku berzina, kemudian diberikan sanksi rajam, maka Allah ï·» ridho kepada Rasulullah ï·º yang memberikan sanksi rajam, dan ridho kepada maiz yang membersihkan dirinya dengan meminta dirajam. Maka, Maiz dikabarkan masuk surga bersama para bidadari.

Dalam sistem demokrasi, pezina tidak mungkin dirajam. Malah diberi kebebasan. Dalam kondisi ini, penguasa dan pezinanya mendapat murka dari Allah ï·».

Penguasa mendapat murka karena menelantarkan hudud dan malah memberikan kebebasan berzina. Pezinanya mendapat murka, karena tidak mendapat kesempatan untuk menebus dosa di dunia, maka di akhirat masuk neraka.

Riba, miras, judi, haram dalam sistem Islam. Dalam demokrasi, semuanya halal. Jadi, tidak akan mungkin mendapatkan ridho Allah ï·», jika kekuasan dijalankan dengan demokrasi.

Selanjutnya, mekanisme mengelola negara dalam Islam, yang diterapkan melalui institusi Khilafah adalah dengan mengadopsi konsep kedaulatan syariat. Sementara, demokrasi mengadopsi konsep kedaulatan rakyat.

Dalam Islam, parameter amal baik seorang rakyat maupun penguasa rujukannya adalah syariat. Sehingga, penguasa dan rakyat sederajat dihadapan syariat.

Dalam demokrasi, rujukan undang-undang adalah rakyat yang telah dibuat oleh penguasa, untuk memberikan privelige (keistimewaan) kepada penguasa, sehingga penguasa berbeda kedudukannya dengan rakyat. Coba lihat, hakim MK Arif Hidayat tidak memanggil Jokowi dengan alasan Jokowi presiden, simbol negara.

Dalam Islam, mau rakyat jelata atau Khalifah, itu kedudukannya sama. Maka wajar, imam Ali kalah bersengketa dengan rakyatnya dalam perkara baju zirah. Itu karena kedudukan Khalifah dan rakyat sama dimuka hukum Islam.

Mekanisme mengelola kekuasaan, juga berbeda. Demokrasi menggunakan sistem sekuler, yang menjauhkan agama dari negara. Khilafah justru hadir untuk menegakkan agama. Dalam Islam, agama dan negara tidak boleh dipisahkan.

Aneh, jika orang masih qona'ah dengan demokrasi dengan dalih dalam sistem Islam mungkin juga ada penyimpangan. Dalam sistem Islam, mungkin ada penyimpangan. Namun, upaya meluruskannya kembali tetap dengan syariat Islam.

Sementara dalam sistem demokrasi, tidak menyimpang saja tetap mendapat laknat. Karena demokrasi telah merampas hak Allah ï·» untuk mengatur manusia kemudian digantikan dengan hukum yang berasaskan hawa nafsu dan disahkan melalui perdebatan parlemen.

Meskipun kini Khilafah akhirnya runtuh akibat adanya penyimpangan, tapi tidak bisa dijadikan alasan tetap qona'ah dengan demokrasi dengan dalih sistem Islam pun bisa menyimpang.

Justru, kita harus berjuang mengembalikan sistem Islam. Agar kalaupun nantinya ada penyimpangan, bisa diselesaikan pula dengan Islam. Sebagaimana Rasulullah ï·º memimpin negara Madinah, sebagaimana para Khalifah terdahulu mengelola kekuasaan dengan Islam.

Coba bandingkan, umat Islam yang dahulu mulia karena adanya Khilafah, dengan umat Islam hari ini yang menjadi terhina karena membebek pada demokrasi. Penulis kira, berbagai kebobrokan praktik demokrasi hari ini cukup untuk dijadikan dasar untuk segera meninggalkannya, dan beralih mengambil sistem Islam, yakni Khilafah.

Posting Komentar

0 Komentar