KENAPA DEMOKRASI TERMASUK SISTEM KUFUR DALAM ISLAM?


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Demokrasi adalah sistem kufur. Kenapa disebut kufur? Karena mengingkari Allah ï·» sebagai Rab semesta alam, pemegang kedaulatan, yang memiliki hak untuk mengatur manusia. Demokrasi adalah sistem yang bukan berasal dari Islam.

Dalam demokrasi, keberadaan Allah ï·» diingkari. Perintah dan larangan Allah ï·» dikesampingkan. Perintah untuk tunduk, taat, dan patuh kepada Allah ï·» diabaikan.

Dalam demokrasi, kedaulatan diletakan di tangan rakyat. Rakyat menjadi asas dari hukum dan perundangan, dasar adanya perintah dan larangan, bahkan menjadi sandaran legitimasi untuk memberikan sanksi dan hukuman.

Sementara dalam Islam, Kedaulatan diletakan ditangan Syara. Syariat Islam menjadi asas dari hukum dan perundangan, dasar adanya perintah dan larangan, bahkan menjadi sandaran legitimasi untuk memberikan sanksi dan hukuman.

Tidak ada demokrasi dalam Islam. Ketika para sahabat bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Rasulullah ï·º di Saqifah Bani Saidah, kemudian membaiat Abu Bakar RA sebagai Khalifah, itu bukan praktik demokrasi. Apa yang dilakukan oleh sahabat ini adalah syuro (musyawarah), yang berbeda secara diametral dengan demokrasi.

Perbedaan syuro (musyawarah) dalam Islam dengan demokrasi adalah sebagai berikut:

Pertama, syuro dalam Islam mengacu pada hukum syara. Jika syara telah menetapkan halal dan haram, maka syuro dalam Islam tidak memiliki wewenang untuk mengubah yang haram menjadi halal, atau sebaliknya menghalalkan yang haram.

Suara mayoritas tidak mengikat, bahkan tidak bernilai. Yang mengikat hanyalah dalil syara'.

Dalam Islam, riba, miras dan zina haram. Status riba, miras dan zina haram dasarnya adalah dalil syara. Syuro dalam Islam, tidak akan bisa mengubah status riba, miras dan zina menjadi halal.

Sementara dalam demokrasi, semua terserah suara terbanyak. Riba, miras dan zina bisa menjadi halal ketika mayoritas menghendaki. Itulah, esensi kekufuran demokrasi.

Dan hari ini, demokrasi telah mendukung praktik riba, miras dan zina, dengan argumentasi kebebasan. Dalam Islam, tidak ada kebebasan. Setiap mukallaf terikat dengan dalil syara.

Kedua, dalam aspek perkara yang membutuhkan keahlian, suara ahli menjadi keputusan syuro dalam Islam. Rasulullah ï·º pernah melepaskan pendapatnya dalam sebuah syuro, dan mengambil pendapat Hubab Bin Mundzir dalam strategi perang badar, yakni memindahkan lokasi perkemahan di dekat sumur badar (hulu), membendung sumur untuk menghalangi logistik air bagi pasukan musuh yang berkemah di hilir.

Dalam demokrasi, suara seseorang yang ahli dengan masyarakat awam disamakan. Sehingga, urusannya menjadi kacau karena suara kiyai sama dengan suara pelacur. Suara ahli dikalahkan oleh orang bodoh, hanya karena banyaknya suara kebodohan.

Ketiga, dalam Islam, untuk mencari keridhoan dalam aspek yang mubah, barulah suara mayoritas mengikat. Misalnya, untuk memilih Khalifah harus dengan akad keridhoan umat.

Maka, pemilihan Khalifah didasarkan pada pendapat mayoritas. Karena mayoritas, menunjukan kemana arah keridhoan umat.

Contohnya saat Khalifah Umar RA meninggal dan kaum muslimin memilih calon Khalifah pengganti. Saat itu, ada dua calon yang tersisa yakni Usman RA dan Ali RA.

Memilih Usman sebagai Khalifah hukumnya mubah. Sebagaimana memilih Ali juga mubah. Namun, akhirnya Usman RA terpilih menjadi Khalifah, karena mayoritas umat Islam di Madinah lebih ridho (memilih) Usman RA sebagai Khalifah.

Jadi, tak usah mencari dalih untuk melegitimasi demokrasi. Demokrasi itu dari Yunani, dikembangkan konsepnya oleh tokoh Yahudi. Tidak ada dalil dan nasabnya dengan Islam. Jadi, tak usah berjibaku mencari dalih untuk melegitimasi demokrasi.

Posting Komentar

0 Komentar