
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Ada yang salah paham terhadap sejumlah kisah dalam Al Qur'an yang mengabarkan kepada umat Muhammad ﷺ berbagai syariat umat terdahulu. Misalnya, kekuasaan yang diberikan Allah ﷻ kepada Sulaiman AS atau kepada Yusuf AS. Sulaiman AS sebagai Raja, dan Yusuf Bendahara Negara.
Kisah Sulaiman, seolah melegitimasi sistem kerajaan. Faktanya, Allah ﷻ menganugerahkan kerajaan kepada Nabi Sulaiman. Jika sistem kerajaan batil, maka Allah ﷻ sudah pasti tidak akan mengaruniakan kekuasaan dalam bentuk kerajaan kepada Sulaiman AS.
Andaikan, bekerjasama dengan sistem eksisting itu batil, tentulah Allah ﷻ tak akan mengaruniakan jabatan bendahara Negara kepada Yusuf AS, meninggikan derajat Yusuf AS, dengan menganugerahkan kekuasaan sebagai bendahara negara, pada sistem kerjaan yang eksis pada saat itu.
Kisah Sulaiman AS, dijadikan dalih legitimasi sistem kerajaan. Kisah Yusuf AS dijadikan dalih legitimasi, berjuang dan bekerjasama (musyarokah) dalam sistem demokrasi.
Padahal itu semua keliru. Untuk membantahnya, perlu penulis kemukakan beberapa argumentasi:
Pertama, Rasulullah ﷺ ditutus untuk menyempurnakan risalah, sekaligus menghapus syariat umat terdahulu. Kisah tentang Nabi dan Rasul terdahulu tidak dapat dijadikan dalil, karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti syariat Nabi Muhammad ﷺ, bukan syariat Isa AS, bukan syariat Yusuf AS, bukan syariat Sulaiman AS, dan selainnya.
Sehingga seluruh kisah Nabi dan Rasul terdahulu, tidak mengikat sebagai dalil syariat, melainkan dijadikan hujah bagi umat Islam untuk iman kepada Nabi dan Rasul terdahulu dan seluruh kitab yang diturunkan Allah ﷻ kepada mereka (Zabur, Taurat, Injil), serta meyakini kebenaran berbagai kisah tentang mereka yang dijabarkan melalui Al Qur'an dan hadits sahih.
Umat Nabi Muhammad ﷺ wajib iman kepada Taurat yang diturunkan kepada Musa AS. Umat Nabi Muhammad ﷺ wajib iman kepada Injil yang diturunkan kepada Isa AS. Namun, Umat Nabi Muhammad ﷺ hanya wajib beriman dan mengamalkan Al Qur'an saja, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Jadi, syariat umat terdahulu tidak mengikat bagi umat Islam. Contohnya, Nabi Adam AS pertama kali diturunkan di bumi, membawa risalah Allah ﷻ dan melegalisasi inces (pernikahan antara saudara kandung). Itu hanya kita yakini sebagai risalah Allah ﷻ yang diturunkan kepada Adam AS, namun risalah itu sudah dihapus oleh risalah Muhammad ﷺ dan bahkan hukumnya telah di haramkan oleh syariat Nabi Muhammad ﷺ (Islam).
Jadi, tidak bisa berdalih dengan ungkapan "inces itu boleh, sebab jika tidak mustahil Allah ﷻ turunkan risalah itu kepada Adam AS". Ini adalah pernyataan batil, karena risalah tentang inces sudah dihapus dan di haramkan bagi umat Nabi Muhammad ﷺ, meski pada awalnya di halalkan bagi Adam AS.
Jadi, sistem kerajaan memang syariat Allah ﷻ kepada Nabi Sulaiman AS. Namun, syariat ini tidak mengikat bagi umat Nabi Muhammad ﷺ karena telah dihapus. Syariat umat Nabi Muhammad ﷺ dalam sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan kerajaan.
Umat Nabi Muhammad ﷺ juga di haramkan berkerjasama dengan kekuasaan zalim dalam sistem Demokrasi, ikut menghalalkan yang Allah ﷻ haramkan, mengharamkan apa yang Allah ﷻ halalkan, dan berkerjasama dalam kekuasaan batil, meskipun berdalih pada kisah Nabi Yusuf AS.
Merujuk Sirah Nabi Muhammad ﷺ, beliau ﷺ berdakwah untuk mencari dukungan umat dan ahlul quwwah dalam rangka menegakkan kekuasaan Islam. Rasulullah Muhammad ﷺ menolak bekerjasama dengan kafir Quraisy untuk berbagi dan bermitra dalam mengelola pemerintahan, hingga Rasulullah ﷺ memperoleh kekuasaan secara mandiri di Madinah.
Jadi, syariat Allah ﷻ yang diturunkan kepada Yusuf AS berupa kerjasama dengan kekuasaan eksisting tidak mengikat bagi umat Islam. Sebab, umat Islam hanya wajib mengikuti risalah Nabi Muhammad ﷺ, yang hanya meraih kekuasaan dengan dakwah, dan tidak berkompromi atau bekerjasama dengan kekuasaan batil.
Kedua, ijma' sahabat yang mereka ridho kepada Allah ﷻ dan Allah ﷻ ridho kepada mereka pasca Rasulullah ﷺ meninggal dunia adalah dengan meneruskan kekuasaan Islam yang diwariskan Nabi ﷺ dengan sistem Khilafah dan membaiat Abu Bakar RA sebagai khalifah, bukan sebagai raja. Para penerus kekuasaan pasca Abu Bakar yaitu para khulafaur rasyidin setelahnya juga bukanlah para Raja.
Alhasil, secara norma maupun praktik, sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah dan pemimpinnya adalah khalifah, bukan Raja. Sehingga, syariat Islam hanya boleh dan bisa diterapkan secara kaffah dengan Khilafah.
Adapun sistem Republik, jelas bukan dari Islam melainkan sistem warisan bangsa Yunani. Republik secara epistemologi bukanlah tradisi intelektual Islam dalam urusan pemerintahan.
Adanya kebaikan dalam sistem ini, misalnya sistem ini menjadikan Amerika Adi Daya, tetap haram dalam pandangan Islam. Sama dengan sistem sosialis komunis. Meskipun China saat ini dianggap kuat dengan sistem komunisnya, tetap saja komunisme haram dalam pandangan Islam.
Substansi sistem Republik adalah kedaulatan ditangan rakyat. Substansi sistem kerajaan adalah kedaulatan ditangan Raja. Sedangkan dalam sistem Khilafah, kedaulatan ada ditangan Syara'.
Dalam sistem kerjaan, halal haram terserah raja. Dalam Republik, halal haram tergantung pada rakyat. Dalam sistem Khilafah, halal haram terikat dengan dalil syara'.
Jadi, mau apapun dalihnya sistem kerajaan dan republik itu batil. Kerajaan Arab Saudi itu batil, bukan sistem Islam. Republik Iran itu batil, bukan sistem Islam. Sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah dengan kepala negaranya adalah khalifah, bukan Raja atau Presiden.
0 Komentar