SAH! RUU 'DPA', DEWAN PERTIMBANGAN AYAH?


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) akan berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut manjadi perbincangan hangat belakangan ini karena banyaknya dugaan dari ragam kepentingan politik.

Mudah saja membaca motif politik dibalik super kilatnya RUU DPA yang disahkan oleh paripurna DPR sebagai RUU inisiatif dewan. Karena, manuver politik era Jokowi itu sangat mudah dibaca, karena mereka tidak pernah berusaha menutupinya, karena mereka semua sudah tidak punya malu.

Pertama, motif bagi-bagi kekuasaan.
Nampaknya, pembagian kekuasaan kepada elit politik dan Parpol dengan mengubah UU Kementerian Negara, yang menyerahkan jumlah dan nomenklatur Kementrian kepada Presiden, belum cukup untuk menciptakan 'lowongan jabatan politik' bagi para pengangguran Politik dari kalangan elit dan Parpol.

Karena itu, dibentuk DPA yang statusnya lembaga tinggi negara, sejajar bahkan secara substansi lebih tinggi dari Presiden, dengan jumlah keanggotaan tidak dibatasi dengan 9 orang. Itu artinya, membuka lowongan jabatan politik baru bagi elit dan parpol. Sehingga, DPR kompak meloloskan RUU ini.

Koalisi perubahan, baik itu PKS, NasDem, PKB, itu omong kosong. Kalau sudah urusan kekuasaan, mereka juga ikut nimbrung, karena sejatinya semua parpol itu sangat tamak pada kekuasaan.

Terbukti, RUU DPA ini serempak disepakati oleh seluruh fraksi. Itu artinya, seluruh Parpol akan dapat porsi dengan hadirnya DPA atau dikompensasi dapat porsi di posisi yang lain sebagai jatah atas dukungannya pada RUU DPA ini.

Kedua, motif melanggengkan kekuasan Jokowi.
Ide membentuk 'Presidensial Club' yang dicetuskan Prabowo, tidak memuaskan Jokowi. Suap posisi politik untuk Jokowi ini dirasakan tidak seksi, karena tidak punya kewenangan. Club Presiden ini tak lebih dari sekedar 'Tim Hore'.

Karena menyadari jebakan politik Prabowo, yang mau mengekang Jokowi sekedar pada politik tim hore, Jokowi bermanuver. Mendorong dibentuknya DPA, aktifkan kembali lembaga era ORBA ini, agar Jokowi kelak ada didalamnya dan punya power untuk mengontrol dan mengarahkan Prabowo sebagai Presiden dibawah arahan DPA.

Kewenangan DPA diperkuat, sehingga arahan DPA menjadi mengikat bagi Presiden. Tidak seperti rekomendasi Wantimpres yang hanya dianggap 'kentut' oleh Presiden.

Atas simbiosis mutualisme antara Parpol dan Jokowi inilah, RUU DPA dengan mulusnya lolos di Paripurna, meski sebelumnya tidak termasuk RUU Prolegnas 2024. Jokowi juga dapat cuci tangan, seolah pembentukan DPA ini keinginan DPR, inisiatif DPR, bukan kehendak Presiden.

Ketiga, motif bungker kejahatan Jokowi.
Jokowi sadar betul dirinya telah banyak melakukan kejahatan dan pengkhianatan terhadap rakyat. Kasus korupsi dan kejahatan HAM, akan menghantui hidupnya pasca lengser 20 Oktober 2024.

Karena itu, dia membentuk DPA untuk tempat berlindung dari tuntutan rakyat. Dia butuh perlindungan kekuasaan, untuk melindungi kejahatan politiknya, dan untuk terus berbuat jahat dengan politik dinastinya.

Jadi, setelah terbit Mahkamah Kakak (MK), disusul Mahkamah Adik (MA), kini terbit Dewan Pertimbangan Ayah (DPA). Lengkap sudah, skenario melanggengkan dinasti rezim Jokowi.

Posting Komentar

0 Komentar