
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Koordinator Agenda Silaturahmi ke PP Muhammadiyah
"Hidup hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah," Ujar KH Ahmad Dahlan, Mu'assis Muhammadiyah.
Kemarin, penulis bersama sejumlah advokat, tokoh & ulama, memberanikan diri untuk bersilaturahmi ke PP Muhammadiyah. Surat Permohonan Audiensi telah kami layangkan Senin lalu (29/7). Dalam surat tersebut, kami informasikan kami akan bersilaturahmi untuk beraudiensi pada Rabu, 31 Juli 2024.
Hal itu penulis lakukan, pasca Muhammadiyah memutuskan menerima tawaran rezim Jokowi terkait izin tambang ormas, mengikuti jejak PBNU. Bahkan, terakhir penulis menerima informasi Ormas Persis (Persatuan Islam) juga ikut mengajukan IUPK tambang yang ditawarkan rezim Jokowi.
Semangat untuk mendatangi PP Muhammadiyah adalah semangat persaudaraan Islam, rasa mencintai Saudara muslim, motif dan tujuan menasehati para pemimpin dan untuk menggugurkan kewajiban dakwah amar Ma'ruf nahi mungkar. Pada tulisan sebelumnya, hal tersebut sudah penulis ungkapkan.
Dasar utama dari masukkan ini adalah tidak ada hak syar'i bagi Muhammadiyah, PBNU, atau ormas lainnya, untuk mengelola tambang. Karena tambang eks PKP2B yang ditawarkan pemerintah, terkategori milik umum (Al Milkiyatul Ammah), yang terlarang bagi individu, korporasi (domestik, asing, aseng), termasuk ormas, untuk mengelola dan memanfaatkannya.
Dalilnya adalah Riwayat dari Abu Khurasyi dituturkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاء فِى ثَلاَثٍ: فى الْكَلإ وَالْمَاء وَالنَّارِ
"Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu udara, padang rumput dan api" (HR Abu Dawud).
Dari Abi Hurairah ra. diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ juga telah bersabda:
ثَلاَثٌ لاَيُمنَعُنَّ : اَلْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
"Tidak terlarang penggunaan air, api dan padang rumput" (HR Ibnu Majah).
Khusus untuk tambang dengan deposit melimpah, seperti tambang WIUPK eks PKP2B yang ditawarkan kepada Ormas, dalilnya diriwayatkan dari Abyadl bin Hamal. Di dalamnya dituturkan:
أَنَّه وَفَدَ إِلَى رَسُولِ الله صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَ عَه الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَه لَه فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِ سِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَه الْمَاء الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْه
"Sesungguhnya Abyad bin Hammal mendatangi Rasulullah ﷺ, dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma'rib.” Nabi pun memberikan tambang itu kepada dia. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sesungguhnya Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air yang mengalir (al-ma' al-'idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari dia (Abyad bin Hammal)”." (HR Abu Dawud).
Penarikan kembali tambang garam yang telah diberikan oleh Rasulullah ﷺ kepada Abyadl bin Hammal disebabkan karena deposit tambang garam itu melimpah-ruah. Perbuatan beliau menunjukkan bahwa seseorang dilarang menguasai atau memiliki tambang yang memiliki simpanan berlimpah-ruah.
Larangan di sini tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, tetapi mencakup semua jenis bahan tambang yang memiliki deposit melimpah-ruah, alias tidak terbatas.
Tambang-tambang dengan deposit yang berlimpah-ruah merupakan milik umum. Negara tidak diperbolehkan memberikan ijin kepada perusahaan maupun perorangan untuk menguasai dan mengeksploitasinya. Negara wajib melakukan eksploitasi atas penambangan-tambang seperti ini. Hasilnya digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Harta tambang milik umum, wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada umat selaku pemiliknya. Pengembalian manfaat kepada umat itu bisa dalam bentuk fasilitas dan layanan umum, subsidi pendidikan, kesehatan, subsidi pangan dan energi, hingga dalam bentuk iqtha' (pemberian langsung) negara kepada rakyat.
Secara syar'i, Muhammadiyah, PBNU, Persis, dan ormas apapun, termasuk korporasi seperti PT Arutmin, PT Adaro, PT Kaltim Prima Coal, PT Berau Coal, PT Kideco, dll, haram mengelola tambang. Karena pengelolan oleh individu, swasta, korporasi, aseng, asing, dan ormas ini adalah skema pengelolan tambang ala kapitalisme dengan asas kebebasan kepemilikan (Freedom Of Property).
Muhammadiyah & PBNU tidak boleh ikut melakukan keharaman, hanya karena negara membiarkan korporasi swasta, asing dan aseng, mengelola tambang. Daripada hanya korporasi swasta, bahkan asing dan aseng yang mengelola, lebih baik Muhammadiyah dan PBNU ikut mengelola, ikut ngalap berkah dari menambang.
Tindakan seperti ini, justru hanya melegitimasi kesalahan pengelolan tambang yang dilakukan oleh rezim Jokowi. Dampaknya, ormas baik PBNU, Muhammadiyah dan Persis, hanya akan dijadikan bumper bagi rezim Jokowi atas sengkarut pengelolan tambang di negeri ini.
Belum lagi, bukan hanya soal tambang haram dikelola swasta, ormas, korporasi, asing dan asing. Tetapi juga sarat akan masalah penambangan yang eksploitatif, hanya mengejar cuan dan mengabaikan faktor lingkungan, Pat Gulipat pejabat dan aparat, korupsi dan kolusi bisnis tambang, serta dampak sosial yang negatif terhadap masyarakat di sekitar lokasi tambang.
Muhammadiyah, PBNU dan Persis, akan menjadi sasaran coreng muka atas kerusakan tata kelola pertambangan, yang sebenarnya telah dan masih ditimbulkan oleh swasta, korporasi, asing dan asing.
Sebaliknya, Muhammadiyah, PBNU dan Persis, justru harus mengontrol kekuasaan, mendorongnya untuk mengambil alih seluruh tambang yang menguasai hajat publik, dikelola oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terakhir, penulis sampaikan Nasehat kepada Pimpinan Muhammadiyah:
"Atas Rahmat Allah ﷻ, Muhammadiyah sudah menjadi ormas terkaya, bahkan terkaya se-dunia. Muhammadiyah tidak akan menjadi Faqir, jika tidak ikut mengelola tambang."
"Sebaliknya, Muhammadiyah akan menjadi Faqir Marwah, Faqir Reputasi, dan Faqir pahala sekaligus menumpuk dosa, jika memaksakan diri ikut mengelola tambang yang tidak ada hak Syar'inya".
0 Komentar