MENGELOLA NEGARA DENGAN SYARIAH: SOLUSI HINDARI KEZALIMAN


Oleh: Diaz
Penulis Lepas

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Telah menceritakan kepada kami (Abdullah bin Muhammad An Nufaili), telah menceritakan kepada kami (Muhammad bin Maslamah), dari (Muhammad bin Ishaq), dari (Yazid? bin Abu Habib) dari (Abdurrahman bin Syimasah) dari ('Uqbah bin 'Amir), ia berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zhalim. (HR Abu Daud, Nomor: 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim)

Pada tanggal 20 Oktober 2024, pemerintahan Prabowo-Gibran akan dilantik. Meskipun belum resmi, persiapan transisi kekuasaan sudah dimulai, termasuk penempatan pejabat seperti Thomas Djiwandono sebagai Wakil Menteri Keuangan II dan rencana mendesain APBN sebesar Rp3.500 triliun dengan defisit Rp600 triliun.

Seperti biasanya, sumber utama pendapatan APBN selalu berasal dari pajak. Untuk menutupi defisit, negara kerap mengandalkan utang, baik domestik maupun luar negeri, yang seringkali mengandung riba. Padahal, dalam Islam, pajak dan utang ribawi adalah haram. Pajak adalah beban yang menyusahkan rakyat, dan utang ribawi adalah bentuk kezaliman karena pembayaran utangnya tetap dibebankan kepada rakyat.

Pemerintah yang mengelola negara dengan pajak dan utang riba tidak hanya zalim terhadap rakyat, tetapi juga terhadap dirinya sendiri, karena mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Penguasa yang menjerumuskan dirinya dalam dosa ini, kelak akan menerima hukuman yang berat.


Mengelola Negara Tanpa Pajak dan Riba

Lalu, bagaimana caranya mengelola negara tanpa pajak dan utang riba, agar negara bisa diberkahi dan penguasa serta rakyat selamat di dunia dan akhirat?

Setiap penguasa seharusnya paham tentang hukum syariah dalam mengelola kekuasaan. Tanpa pemahaman ini, mereka berisiko menjerumuskan diri mereka sendiri dan rakyatnya ke dalam kesulitan.

Islam mengajarkan bahwa semua perbuatan harus didasarkan pada dalil syar'i. Penguasa tidak boleh mengambil harta rakyat tanpa legitimasi syar'i. Dalam Islam, syariah memberikan wewenang kepada penguasa (Khalifah) untuk mengelola sejumlah harta guna kepentingan rakyat. Penguasa bertanggung jawab untuk menerapkan syariah secara kaffah dan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.


Sumber Pemasukan Negara dalam Islam

Untuk memenuhi kebutuhan negara, syariah Islam telah menetapkan berbagai sumber pemasukan, di antaranya:
  • Anfal, Ghanimah, Fai, dan Khumus: Harta rampasan perang dan sejenisnya.
  • Kharaj: Pajak atas tanah yang dimiliki non-Muslim.
  • Jizyah: Pajak per kepala bagi non-Muslim yang tinggal di negara Islam.
  • Harta Milik Umum (Al Milkiyatul Ammah): Sumber daya alam yang dikelola negara.
  • Harta Milik Negara (Al Milkiyatul Daulah): Properti yang dimiliki oleh negara.
  • Usyur: Pajak perdagangan.
  • Harta Tidak Sah dari Penguasa dan Pegawai Negara: Termasuk denda dari tindakan ilegal.
  • Khumus dari Barang Temuan dan Barang Tambang: Bagian dari harta temuan atau tambang.
  • Harta yang Tidak Ada Ahli Warisnya: Harta yang tidak diwarisi oleh siapapun.
  • Dharibah: Pajak darurat yang dibebankan kepada orang kaya.


Potensi Kekayaan Negara dari Sumber Daya Alam

Dalam Islam, harta milik umum seperti tambang, laut, dan hutan harus dikelola oleh negara dan tidak boleh dikuasai oleh individu, swasta, atau asing. Saat ini, sumber daya ini lebih banyak dikuasai oleh kapitalis dan oligarki.

Jika Indonesia mengelola APBN sesuai syariah Islam dan mengambil alih seluruh tambang dan sumber daya alam dari pihak swasta, potensi pendapatan negara dari sumber daya ini sangat besar. Berikut adalah beberapa contohnya:
  • Batubara: Dengan cadangan 37,6 miliar ton, potensi pendapatan mencapai Rp167.840,572 triliun.
  • Gas Alam: Cadangan sebesar 62 miliar MMbtu, potensi pendapatan Rp5.635 triliun.
  • Emas: Cadangan 2.600 ton, potensi pendapatan Rp2.097 triliun.
  • Nikel: Cadangan 81 juta ton, potensi pendapatan Rp20,568,643 triliun.
  • Kekayaan Laut: Potensi pendapatan Rp18,886 triliun per tahun.
  • Kekayaan Hutan: Potensi pendapatan Rp1.000 triliun per tahun.

Total potensi pendapatan dari sumber daya ini bisa mencapai Rp20.655,696 triliun, dengan pendapatan tahunan sekitar Rp7.101 triliun. Ini cukup untuk menutupi kebutuhan APBN sebesar Rp3.500 triliun per tahun tanpa harus mengandalkan pajak dan utang. Bahkan, surplusnya bisa digunakan untuk melunasi utang negara dalam waktu tiga tahun.


Pentingnya Sistem Islam

Namun, semua ini hanya bisa dicapai jika sistem yang digunakan adalah sistem Islam, bukan sistem sekuler demokrasi. Oleh karena itu, perjuangan untuk menegakkan Khilafah dan menerapkan syariah secara kaffah sangat relevan dan harus terus digalakkan.

Posting Komentar

0 Komentar