EKONOM CURIGAI PERNYATAAN PRESIDEN YANG MENYEBUT ANGKA KEMISKINAN EKSTREM TURUN MENJADI 0.83%


Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas

Dalam beberapa waktu terakhir, perbincangan mengenai kemiskinan ekstrem di Indonesia kembali memanas setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato RAPBN pada 16 Agustus 2024. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa angka kemiskinan ekstrem di Indonesia turun menjadi 0,83% pada 2024, yang tercatat dalam nota keuangan negara. Hal ini menunjukkan penurunan drastis dari angka 6,20% pada awal periode kedua pemerintahan Jokowi.

Ekonom Awalil Rizky memberikan analisis mendalam terkait angka kemiskinan ekstrem ini, dengan menyoroti beberapa hal penting yang perlu dicermati lebih lanjut. Menurut Awalil, ukuran kemiskinan ekstrem yang digunakan saat ini tampaknya menimbulkan beberapa pertanyaan, terutama terkait penurunan yang cukup signifikan.


Definisi dan Pengukuran Kemiskinan

Untuk memahami kemiskinan ekstrem, perlu melihat definisi dan cara pengukurannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ini berubah setiap tahun, mengikuti inflasi dan perubahan biaya hidup. Pada Maret 2024, garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp582.932 per bulan.

Kemiskinan ekstrem, di sisi lain, mencakup penduduk miskin yang pengeluarannya jauh di bawah garis kemiskinan. Sebelumnya, BPS menggunakan istilah "sangat miskin" untuk menggambarkan penduduk yang pengeluarannya di bawah 80% dari garis kemiskinan. Misalnya, jika garis kemiskinan adalah Rp600.000, maka penduduk dengan pengeluaran di bawah Rp480.000 masuk dalam kategori sangat miskin.

Namun, sejak 2020, istilah "kemiskinan ekstrem" mulai dipopulerkan sejalan dengan arahan Presiden Jokowi untuk menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan ekstrem sebagai penduduk yang hidup dengan penghasilan di bawah 1,9 dolar AS per hari, yang setara dengan Rp582.932 di Indonesia.


Angka Kemiskinan Ekstrem yang Menurun Drastis

Awalil menyebutkan bahwa angka kemiskinan ekstrem yang disampaikan pemerintah tampak menurun drastis dari 6,20% menjadi 0,83%. Namun, ia meragukan apakah angka tersebut mencerminkan realitas di lapangan. Sebagai perbandingan, BPS dan berbagai instansi internasional seperti Bank Dunia memiliki standar penghitungan yang berbeda, sehingga hasil yang diperoleh bisa bervariasi.

Misalnya, Bank Dunia pada tahun 2022 mencatat kemiskinan ekstrem di Indonesia sebesar 1,9%. Di sisi lain, BPS dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) tahun 2023 mencantumkan angka kemiskinan ekstrem sebesar 2,5%. Perbedaan angka ini menimbulkan pertanyaan: metode mana yang sebenarnya digunakan untuk menentukan kemiskinan ekstrem di Indonesia?


Kecurigaan Ilmiah Awalil Rizky

Awalil, sebagai seorang ekonom, merasa curiga secara ilmiah terhadap perubahan batasan kemiskinan ekstrem ini. Menurutnya, penurunan signifikan angka kemiskinan ekstrem mungkin terkait dengan penurunan standar atau garis kemiskinan yang digunakan, sehingga angka kemiskinan tampak lebih rendah dari yang seharusnya.

Ia juga menyebutkan bahwa dalam dua tahun terakhir, terdapat perubahan cara perhitungan yang mengarah pada penurunan batas kemiskinan ekstrem. Hal ini bisa berdampak pada keberhasilan pencapaian target yang ditetapkan pemerintah. Jika batasan kemiskinan diturunkan, maka jumlah penduduk yang dianggap miskin ekstrem akan otomatis berkurang, meskipun kondisi ekonomi mereka mungkin tidak berubah secara signifikan.


Kesimpulan

Melalui analisisnya, Awalil Rizky mengajak publik untuk lebih kritis dalam menyikapi angka-angka kemiskinan ekstrem yang disampaikan pemerintah. Menurutnya, penurunan signifikan angka kemiskinan ekstrem perlu ditelusuri lebih lanjut, terutama terkait metode dan standar yang digunakan. Selain itu, penting untuk mempertajam definisi kemiskinan ekstrem agar target pemerintah tidak hanya tercapai di atas kertas, tetapi juga mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata.

Dengan demikian, transparansi dan konsistensi dalam pengukuran kemiskinan ekstrem sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berdampak positif bagi masyarakat terbawah di Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar