
Oleh: Tety Kurniawati
Penulis Lepas
Hari Guru Nasional diperingati setiap 25 November untuk menghormati jasa guru. "Guru Hebat, Indonesia Kuat" dipilih menjadi tema besar Hari Guru Nasional 2024. Namun, dibalik ungkapan penuh optimisme tersebut, realitas di lapangan justru menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan.
Problem yang paling menonjol ialah kurangnya dukungan infrastruktur dan kesenjangan distribusi guru. Hal yang menggambarkan ketimpangan serius dalam ekosistem pendidikan nasional. Sebagai contoh guru di wilayah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) seringkali harus menghadapi berbagai keterbatasan. Mulai dari sekolah yang belum memiliki akses listrik sampai wilayah yang belum terkoneksi internet. Kondisi ini tentu tak mendukung bagi kegiatan pembelajaran. Selain itu, rasio guru terhadap siswa masih jauh dari ideal. Sebab belum meratanya sebaran guru di Indonesia. Dampaknya, rendahnya kualitas pembelajaran siswa tak terhindarkan.
Kompetensi guru juga turut menjadi pekerjaan rumah dunia pendidikan nasional yang belum tertuntaskan. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2019 menunjukkan rata-rata skor guru masih dibawah standar minimum 75. Bukti atas lemahnya sistem pembinaan dan pengembangan guru.
Pendidikan yang bertujuan mencetak generasi berakhlak mulia, kian jauh dari cita-cita. Manakala guru dibebani tugas administratif yang tiada habisnya. Birokrasi berlapis pun jadi kesibukan yang harus dihadapinya. Sementara siswa tak lagi melihat guru sebagai teladan. Melainkan sebatas sosok yang terjebak dalam rutinitas harian yang sama.
Pendidikan yang harusnya mengutamakan pengembangan karakter dan kepribadian. Terjerat tuntutan kurikulum yang berorientasi pada hasil ujian. Tumbuhnya generasi berintegritas pun kian sulit terwujudkan. Saat pendidikan tak lagi menekankan pada nilai-nilai luhur kehidupan.
Sebagai pilar pendidikan guru juga harus menghadapi tantangan berat pada minimnya kesejahteraan. Berdasarkan survey lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), hampir separuh guru Indonesia berpenghasilan kurang dari RP 2 juta per bulan. Sementara 13% diantaranya bahkan berpenghasilan dibawah Rp 500 ribu. Banyak diantara mereka terpaksa melakukan kerja sampingan, sekedar untuk memenuhi kebutuhan.
Guru hanya dianggap sebagai profesi. Hingga keberadaannya tak lagi dihargai. Bahkan belakangan banyak guru yang dikriminalisasi. Bukti bahwa guru tak memiliki jaminan perlindungan diri. Sementara, banyak pula guru hari ini yang melakukan perbuatan kontraproduktif terhadap profesinya. Menjadi pelaku bullying, kekerasan fisik dan seksual, hingga terlibat judol.
Kompleksitas problematika guru tersebut merupakan keniscayaan atas penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini menggerus jati diri guru sebagai pendidik. Gaya hidup sekuler dan liberal mewarnai kehidupan keseharian mereka. Hingga ada guru yang tega melakukan kekerasan fisik maupun seksual kepada muridnya.
Kapitalisme yang mengakar pada dunia pendidikan, menjadikan pola pikir guru, siswa dan wali siswa senantiasa berorientasi pada pencapaian materi semata. Wajar jika kemudian kurikulum hanya didesain untuk mencetak siswa sebagai pekerja dan memuaskan wali siswa dengan prestasi semu dalam deretan angka akademis semata. Sementara martabat guru direndahkan, hanya dianggap "orang bayaran". Bahkan harus bersiap jika sewaktu-waktu diperkarakan atas tindak pendisiplinan yang diterapkan. Marwah mereka memudar seiring sistem Kapitalisme yang memaksa siapapun tunduk pada materi dan kekuasaan.
Islam menetapkan bahwa guru bukan sekedar pengajar, namun pendidik generasi. Mereka merupakan penentu corak peradaban Islam. Maka guru haruslah mereka yang bertakwa, berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan, disiplin, profesional dan memiliki ketrampilan mendidik. Negara menerapkan uji kompetensi bagi calon guru sebelum mereka dinyatakan layak mengajar.
Negara wajib menerapkan kurikulum berbasis aqidah Islam. Guna mencetak generasi unggul berkepribadian Islam yang menguasai sains dan tekhnologi. Guru digaji tinggi dengan penerapan ekonomi Islam yang menjadikan kebutuhan hidup tiap warga negara dijamin terpenuhi. Kesejahteraan guru tak lagi mimpi.
Bentang sejarah Islam mencatat sebagaimana yang tertuang pada kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyah karya Dr. Rudhaifullah Yahya Az- Zahrani bahwa pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, gaji tahunan rata-rata pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Jika dirupiahkan sekitar Rp. 12,75 miliar per tahun.
Generasi yang dihasilkan di sistem Islam pun terbukti memberi andil besar pada peradaban. Sebut saja Ibnu Sina sang bapak kedokteran, Al Khawarizmi penemu aljabar dan masih banyak lagi. Demikianlah bagaimana penerapan Sistem Islam menghantarkan pada kemuliaan peradaban dan menghadirkan kesejahteraan. Maka sudah seharusnya perjuangan mengembalikan sistem Islam menjadi agenda yang umat prioritaskan.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Komentar