Jurnalis Lepas
Pada Ahad (16/2), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengumumkan bahwa lembaganya tidak lagi mengusut dugaan korupsi terkait terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut di perairan Tangerang. Harli menyebutkan bahwa kasus ini kini sepenuhnya ditangani oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan dua alasan utama atas keputusan ini, yang didasarkan pada nota kesepahaman (MoU) antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejagung, dan Polri:
- Kasus ini sudah ditangani oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri, sehingga Kejagung memilih untuk mundur dan menyerahkan sepenuhnya kepada Polri.
- Dugaan adanya tindak pidana korupsi berupa suap dan/atau gratifikasi merupakan bagian dari materi penyelidikan yang dapat ditelusuri oleh Bareskrim saat menangani kasus ini.
Namun, alasan yang dikemukakan Kejagung ini menuai banyak pertanyaan. Pasalnya, tidak ada satu pun pasal dalam MoU antara KPK, Kejagung, dan Polri yang mengatur bahwa salah satu lembaga harus mundur dalam menangani kasus korupsi.
Bantahan Terhadap Alasan Kejagung
MoU Tidak Mengatur Penegak Hukum Harus Mundur. MoU yang diteken oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ketua KPK Firly Bahuri, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 20 Mei 2021, lebih menekankan pada hubungan koordinasi dan supervisi dalam penanganan kasus korupsi. Dari 21 pasal yang ada, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban bagi salah satu pihak untuk mundur.
MoU Sudah Berakhir Secara Hukum
MoU tersebut berlaku selama tiga tahun dan secara hukum berakhir pada 20 Mei 2024. Walaupun ada pertemuan antara KPK dan Kejagung pada 30 Oktober 2024, hingga saat ini belum ada informasi mengenai perpanjangan MoU tersebut. Dengan demikian, dasar hukum yang dijadikan alasan oleh Kejagung sudah tidak berlaku.
Bareskrim Polri Tidak Menangani Tindak Pidana Korupsi
Bareskrim Polri menangani kasus ini berdasarkan Pasal 263 dan 266 KUHP jo Pasal 55 dan 56 KUHP, yang berkaitan dengan tindak pidana umum berupa dugaan pemalsuan surat dan/atau memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik.
Sementara itu, berdasarkan surat Kejaksaan Agung nomor B-322/F.2 Fd.1/01/2025 tertanggal 22 Januari 2025, Kejagung sebenarnya telah melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di perairan laut Tangerang Utara dengan meminta data dan dokumen kepada Kepala Desa Kohod di Kabupaten Tangerang. Lalu, mengapa Kejagung menghentikan penyelidikan korupsi dengan alasan bahwa Bareskrim sudah menangani, padahal Bareskrim hanya menangani dugaan pemalsuan surat?
Kasus Korupsi Lebih dari Sekadar Suap dan Gratifikasi
Dugaan korupsi dalam kasus ini tidak hanya berkaitan dengan suap dan gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Terbitnya SHGB dan SHM di laut diduga kuat melibatkan penyalahgunaan wewenang dan/atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang berpotensi merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan 3 UU Tipikor).
Bahkan jika Bareskrim menangani dugaan suap dan gratifikasi, Kejagung tetap memiliki wewenang untuk menyidik korupsi terkait penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara. Namun, hingga saat ini Bareskrim sendiri belum masuk ke perkara tindak pidana korupsi, melainkan baru pada ranah tindak pidana umum melalui Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum).
Takut Melawan Oligarki?
Keputusan Kejagung untuk menghentikan penyelidikan kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Kejagung takut melawan oligarki yang diduga terlibat dalam kasus ini, seperti Aguan dan Anthony Salim, pemilik megaproyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2)?
Jika aparat penegak hukum justru mundur saat menangani kasus besar yang berpotensi melibatkan konglomerat, maka ke mana lagi rakyat harus mencari keadilan? Apakah hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas?
Kasus ini seharusnya menjadi ujian bagi integritas aparat penegak hukum. Jika Kejagung benar-benar ingin menegakkan hukum tanpa pandang bulu, maka seharusnya mereka melanjutkan penyelidikan kasus ini hingga tuntas, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pihak tertentu. Rakyat berhak mendapatkan keadilan, dan negara harus hadir untuk menegakkan supremasi hukum yang sejati.
0 Komentar