PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA, SUDAHKAH MEMBAWA KEBAIKAN?


Oleh: Amriane Hidayati
Ibu Rumah Tangga

Pada 28 Januari lalu, masa kerja pemerintahan Prabowo-Gibran genap memasuki 100 hari. Sejumlah lembaga survey telah memberikan penilaian atas kinerja pemerintah, terkait komitmen dan kebijakan pemerintah sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 silam.

Salah satu lembaga survei yang memberikan penilaian adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI). LSI telah merilis hasil survei bertajuk 'Kinerja Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi dalam 100 Hari Pemerintahan Prabowo Subianto', periode 20–28 Januari 2025.

Sebanyak 41,6 persen masyarakat merasa puas dengan kinerja aparat penegak hukum. Sedangkan sisanya, menilai kinerja aparat penegak hukum dengan nilai sedang, buruk, dan sangat buruk. (inilah.com, 09-02-2025)


Catatan Kritis ditengah Penilaian Publik

Berdasarkan hasil survei LSI, dapat kita lihat bahwa kinerja penegakan hukum di Indonesia masih memiliki banyak catatan.

Dengan berkembangnya teknologi informasi dan berbagai peristiwa yang terjadi hari ini, kemudian muncul fenomena "No Viral, No Justice" sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap penegakan hukum yang dianggap lambat, dan hanya dapat berjalan baik jika mendapat intervensi dari atensi publik. Hal tersebut menandakan lemahnya sistem hukum di Indonesia dan memunculkan ketidakpastian dalam penanganan hukum.


Hukum Manusia, Hukum Berdasarkan Kepentingan

Dari fenomena "No Viral, No Justice" kita dapat melihat bahwa penegakan hukum dilakukan berdasarkan kepentingan. Fokus pencarian keadilan bergeser menjadi fokus menarik atensi publik dan pencarian sensasi.

Seperti itulah jika hukum dibuat oleh manusia yang lemah dan terbatas, tidak ada kebaikan didalamnya. Hukum yang dibuat oleh manusia rawan adanya konflik kepentingan, tidak baku dan dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan dan pesanan.

Namun sesungguhnya, berubah-ubahnya aturan dan kebijakan hukum merupakan buah dari sistem kehidupan yang diterapkan di negeri ini, yaitu sistem sekuler demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan kebebasan sebagai hal yang diagung-agungkan. Aturan yang dibuat sifatnya menjadi subjektif, sehingga ketika aturan tersebut tidak lagi relevan dan menguntungkan, maka aturan tersebut dapat diganti sesuka hati.


Hukum Syara, Menjamin Keadilan

Islam menjadikan hukum syara sebagai sumber hukum. Karena Islam mengharuskan umatnya untuk terikat dengan aturan dari Allah ﷻ. dan Rasul-Nya, tanpa kecuali. Islam sebagai aturan kehidupan yang diturunkan oleh Allah ﷻ, merupakan aturan yang paripurna yang menyelesaikan setiap persoalan manusia secara menyeluruh, tuntas, lengkap dan sempurna.

Dalam Islam, hak membuat hukum ada pada Allah ﷻ semata. Dikarenakan manusia menjadi objek pembahasan di dunia ini, maka munculnya hukum itu tidak terlepas dalam rangka mengatur manusia. Sehingga satu-satunya yang berhak mengeluarkan hukum adalah Allah ﷻ Al Mudabbir yang Maha Pengatur.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali pada aturan Allah ﷻ. Karena Islam sebagai din yang sempurna mampu menjamin keadilan, memberikan ketentraman, kesejahteraan, dan rasa aman bagi manusia.

Islam diturunkan Allah ﷻ sebagai rahmat bagi seluruh alam, yang menjaga manusia dari kerusakan, baik individu, masyarakat maupun bangsa. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 107).

Wallahualam bissawab

Posting Komentar

0 Komentar