
Oleh: Evi Viani
Penulis Lepas
Kabupaten Cilacap memiliki peran strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan Jawa Tengah. Hal ini senada dengan Visi Kabupaten Cilacap yang tertuang dalam RPJPD Kabupaten Cilacap 2025 - 2045, yaitu "Cilacap Pendukung Pangan Jawa Tengah yang Berdaya Saing, Maju, Sejahtera, dan Berkelanjutan". Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan RI, Yudi Sastro. Menurutnya, Jateng merupakan lumbung pangan nasional. Provinsi ini menjadi harapan penumpu pangan nasional bersama dengan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. (Humas, Jateng 24/9/2024)
Dan baru-baru ini, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, berencana membuat Pulau Nusakambangan menjadi kekuatan baru dalam lumbung ketahanan pangan nasional. Dengan lahan luas dan sumber daya manusia dari Warga Binaan, Nusakambangan dinilai bukan sekadar pulau otoritas pengasingan, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai pusat produksi pangan yang strategis.
Saat ini, sekitar 115 hektare lahan Nusakambangan tengah dioptimalkan untuk pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sektor pertanian dan perkebunan ditargetkan menjadi lumbung padi dan jagung dengan lahan seluas 72 hektare. Di sisi lain, 32 hektare lahan di tepi pantai belakang Lapas Pasir Putih akan dikembangkan sebagai tambak udang, termasuk budidaya udang vaname dan berbagai jenis ikan. Sementara itu, peternakan ditargetkan menghasilkan ribuan ayam petelur, kambing, dan ratusan ekor sapi.
“Kami ingin mewujudkan konsep sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Di satu sisi, kami membina Warga Binaan dengan pelatihan dan pemberdayaan. Di sisi lain, kami turut berkontribusi dalam ketahanan pangan nasional sebagaimana ditekankan oleh Presiden Prabowo Subianto,” tegas Agus.
Tak hanya fokus pada produksi pangan, proyek ini juga mencakup pembangunan pabrik pupuk serta Balai Latihan Kerja (BLK) bagi Warga Binaan. Untuk mendukung hal tersebut, PLN dan BRI ikut serta dalam pengembangan infrastruktur.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Mashudi, Direktur Utama PT PLN Persero Darmawan Prasodjo, menandatangani kerja sama pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk mendukung pembangunan infrastruktur di Nusakambangan. Dengan langkah besar ini, menjadikan Nusakambangan bukan sekadar pulau dengan keberadaan Lapas tempat penghukuman dengan berbagai tingkatan risiko terlengkap, tetapi juga telah bertransformasi sebagai sumber kekuatan besar penyokong ketahanan pangan nasional. (SerayuNews 5/2/2025)
Ngoyo Mengejar SDGs (Sustainable Development Goals) Ketahanan Pangan
Dalam rangka komitmen untuk mewujudkan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), yang di antaranya adalah tanpa kemiskinan dan mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, memperbaiki nutrisi dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan, Pemerintah Indonesia telah menerapkan strategi dalam bentuk rencana jangka panjang dan jangan menengah untuk mencapai penyelesaian masalah ketahanan pangan dan kesehatan.
Prof. Dr. Ir. Masyhuri, Guru Besar Bidang Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Universitas Gajah Mada (UGM) mengungkapkan, sejumlah persoalan mendalam harus diatasi untuk memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan di Indonesia. Kemiskinan menjadi persoalan dan tantangan terbesar yang dihadapi oleh sektor pertanian.
Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., IPM., ASEAN Eng. menyampaikan bahwa ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan, tanpa melihat dari mana sumber ketersediaan pangan itu dan bagaimana cara mendapatkannya bagi negara.
Gunawan juga menjelaskan kondisi kemampuan pertanian Indonesia yang relatif lebih menurun dan pasar pangan yang besar menjadi incaran produsen luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan.
Menyorot hal di atas akademisi Dr. Lizda Johar Mawarani, S.T., M.T. menilai, “Berbicara tentang ketahanan pangan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk memiliki ketahanan pangan yang tinggi sebab sumber daya alam yang dimiliki sangat memadai untuk menciptakan swasembada pangan,” jelasnya kepada MNews, Jumat (27-12-2024).
“Sayangnya kondisi Indonesia masih jauh dari swasembada, bahkan produksi pangan lokal makin berkurang. Sementara impor pangan terus meningkat yang nilainya mencapai Rp 107 Triliun pada 2023,” kritiknya.
Tidak hanya itu, Lizda juga menyampaikan bahwa impor sering kali menjadi alat dalam hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara lain, seperti dengan Cina, AS, dan lainnya. “Dengan fakta tersebut, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa saat ini negara telah gagal membangun ketahanan pangan karena terjajah dan ini merupakan akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme,” ulasnya.
Sistem Kapitalisme Pangkal Gagalnya Ketahanan Pangan
Jika dianalisis lebih mendalam, yang menjadi sebab kegagalan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah dasar pijakannya yaitu kapitalisme. Sistem politik ekonomi pangan yang bercorak kapitalisme itu telah jelas dan terbukti menjadikan pangkal ketahanan pangan sulit terwujud.
Sistem politik kapitalisme menihilkan peran negara, menjadikannya sebatas regulator dan fasilitator. Negara jadi tidak memiliki tanggung jawab untuk mengurus urusan rakyatnya dan menyerahkan berbagai urusan rakyat pada korporasi. Jika sudah diserahkan kepada korporasi, maka orientasi kebijakan bukan lagi pada kemaslahatan rakyat melainkan keuntungan perusahaan.
Selain menihilkan peran negara, penguasa dalam sistem kapitalisme demokrasi ini bekerja bukan untuk rakyat, tetapi untuk oligarki. Tidak heran, berbagai kebijakan akan menguntungkan segelintir elit dan menzalimi rakyat banyak.
Parahnya lagi, fokus kebijakan ketahanan pangan hari ini selalu berkutat pada aspek konsumsi. Sebagai contoh nyata adalah program Makan Bergizi Gratis, kartu sembako, dan lainnya. Implementasi kebijakan itu juga begitu rumit sehingga adaptasinya akan sulit dan berpotensi menjadi bancakan korupsi. Hal ini mengingat dananya yang jumbo tetapi belum jelas sasaran peruntukannya. Dampaknya, yang terbaca dari program tersebut hanyalah politik pragmatis yang bagai “tong kosong nyaring bunyinya”.
Kondisi ini menjadi makin buruk akibat adanya paradigma bisnis ala kebijakan kapitalisme. Pembangunan infrastruktur untuk mendukung distribusi pun berfokus pada kemaslahatan korporasi. Buktinya, pembangunan infrastruktur banyak di perkotaan tetapi minim di perdesaan. Sedangkan, sebagian besar tanaman pangan ditanam di perdesaan yang jauh dari akses pasar. Belum lagi subsidi BBM yang semakin minim, tentu berdampak pada distribusi yang makin sulit dan mahal.
Selain itu, atas nama efisiensi, kebijakan impor lebih disukai daripada meningkatkan produktivitas pertanian. Lihatlah kebijakan hari ini, walau sudah ada program pengembangan sawah, tetapi realitasnya, alih fungsi lahan pertanian menjadi hunian dan industri makin banyak dilakukan. Atas nama proyek strategis nasional (PSN), lahan sawah rakyat harus rela digusur. Bukankah ini memperlihatkan pada kita bahwa kebijakan hari ini tidak memihak pada produktivitas pertanian dan memang cenderung untuk bergantung pada impor?
Sudahlah lahan pertanian terus dialihfungsikan, food estate pun terbukti gagal memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kebijakan impor yang terus terjadi, sejatinya akibat kuatnya para importir menyetir kebijakan negara. Semua ini makin nyata mengikis kedaulatan pangan negara yang akan berimbas pada ketahanan pangan.
Sistem Islam Solusi Ketahanan Pangan
Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam mestinya menerapkan sistem Islam dalam kehidupannya, termasuk dalam masalah ketahanan pangan ini.
Ketahanan pangan dalam sistem Islam berfokus pada pemenuhan kebutuhan pangan secara berkelanjutan dan adil sesuai syariat Islam. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk memastikan setiap individu mendapatkan kebutuhan pokoknya, termasuk pangan.
Khalifah, berperan aktif dalam mengelola sumber daya alam dan mendukung sektor pertanian. Islam juga menganjurkan penggunaan lahan secara produktif dan menghindari menelantarkan lahan. Jika seseorang tidak mampu mengelola lahan sehingga terlantar lebih dari 3 tahun, maka lahan tersebut akan diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya sehingga lahan benar-benar produkif. Islam juga mendorong pelestarian lingkungan dalam aktivitas pertanian dan produksi pangan, serta melarang eksploitasi yang berlebihan untuk menjaga keseimbangan alam.
Gambaran penerapan sistem Islam dalam hal ini seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab yang membangun sistem irigasi yang luas untuk mendukung produksi pertanian. Beliau ra. membangun kanal yang menghubungkan sungai Nil ke laut Merah untuk meningkatkan distribusi hasil pertanian di Mesir.
Pada masa Kekhalifahan di Andalusia, para insinyur muslim menciptakan sistem irigasi canggih seperti qanat (saluran air bawah tanah) dan penggunaan kincir air untuk memanfaatkan aliran sungai. Sistem ini memungkinkan lahan-lahan kering diubah menjadi tanah pertanian produktif. Di samping itu, modal untuk berproduksi seperti benih, pupuk serta sarana prasarana lain juga disediakan oleh negara jika petani mengalami kesulitan. Tentu masalah ketahanan pangan akan dapat dipecahkan dan kesejahteraan rakyat segera datang di depan mata.
Oleh karena itu sudah sewajarnya jika umat Islam merindukan kehidupan Islam ada di tengah kita. Sebabnya, kembalinya kehidupan Islam tidak hanya akan menyelesaikan masalah ketahanan pangan, melainkan juga akan menyelesaikan masalah-masalah yang lain.
Wallahu a'lam bishawab
0 Komentar