
Oleh: Putri Melati
Penulis Lepas
Demo Lagi, Demo Terus: Apa Ada yang Salah dengan Pola Ini? Setiap tahun, berita demo mahasiswa selalu muncul. Isunya bisa berbeda, tapi polanya hampir selalu sama. mahasiswa turun ke jalan, menyampaikan tuntutan, mengecam kebijakan pemerintah, lalu anehnya, kebijakan yang mereka tolak sering tetap berjalan, dan permasalahan yang mereka kritik tetap berulang. Apakah ada yang salah dengan pola ini?
Baru-baru ini, ribuan mahasiswa di Semarang turun ke jalan menolak kebijakan Inpres No. 1 Tahun 2025 yang dinilai membebani rakyat. Ketua BEM Universitas Diponegoro (Undip), Aufa Atha Ariq menyatakan bahwa aksi ini merupakan respons atas ketidak jelasan pemerintah perihal efisiensi anggaran yang dinilai merugikan rakyat (joglojateng.com, 2025).
Mereka menyoroti pemangkasan anggaran pendidikan, kelangkaan LPG 3 kg, hingga kebijakan ekonomi yang dianggap lebih menguntungkan korporasi (detik.com, 2025). Tuntutan mereka jelas dan lantang. Tapi pertanyaannya, apakah aksi ini benar-benar bisa mengubah kebijakan atau hanya menjadi catatan sejarah tanpa dampak nyata?
Faktanya, aksi semacam ini sudah terjadi berkali-kali. Dari demo besar tahun 2019, protes terhadap UU Cipta Kerja, hingga tuntutan atas berbagai kebijakan pemerintah sebelumnya (kompas.com, 2019).
Suara mahasiswa selalu jelas dan lantang, tapi mengapa hasilnya sering kali tak sesuai harapan? Bukan karena mahasiswa kurang kritis atau kurang berani, tapi mungkin ada yang perlu dievaluasi dalam cara perjuangan ini.
Demo adalah bentuk ekspresi dan perlawanan yang sah, tapi jika terus dilakukan tanpa strategi yang lebih kuat, apakah cukup untuk menciptakan perubahan? Apa cukup hanya dengan menuntut pemerintah bertindak lebih adil, sementara sistem yang melahirkan kebijakan ini tetap sama? Mungkin sudah saatnya mahasiswa tidak hanya fokus pada tuntutan, tapi juga memikirkan solusi yang lebih mendasar dan mencari akar permasalahannya. Karena pada akhirnya, perjuangan bukan sekadar tentang seberapa keras kita bersuara, tapi seberapa jauh kita bisa membawa perubahan nyata. Jika pola yang sama terus diulang tanpa hasil yang signifikan, bukankah sudah saatnya kita bertanya: apakah ada cara yang lebih efektif untuk membuat perubahan yang sesungguhnya?
Demonstrasi mahasiswa di Indonesia sering kali menjadi sorotan saat kebijakan pemerintah dianggap merugikan rakyat. Misalnya, pada tahun 2025 ini, mahasiswa menggelar protes besar-besaran menentang pemotongan anggaran pendidikan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang dialihkan untuk program makanan gratis. Meskipun demonstrasi tersebut meluas di berbagai kota besar, kebijakan pemotongan anggaran tetap dilaksanakan tanpa perubahan berarti. (Financial Times.com, Students stage ‘Dark Indonesia’ protests as Prabowo Subianto’s spending cuts hit education, 2025)
Menurut penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), efektivitas demonstrasi dalam mempengaruhi kebijakan di Indonesia sangat rendah karena kuatnya oligarki politik dan ekonomi. Hal ini diperkuat oleh laporan Transparency International yang menunjukkan bahwa korupsi masih merajalela, sehingga kebijakan lebih sering menguntungkan segelintir elite daripada rakyat luas. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Efektivitas Demonstrasi dalam Demokrasi)
Hal ini menunjukkan adanya masalah dalam sistem penyampaian aspirasi itu sendiri. Dalam sistem demokrasi, demonstrasi sering kali berfungsi sebagai tekanan moral tanpa kekuatan hukum yang mengikat pemerintah untuk bertindak sesuai tuntutan rakyat. Selain itu, demonstrasi dalam demokrasi sering kali dihadapkan pada represi, seperti bentrokan, kriminalisasi aktivis, atau pengabaian tuntutan. Misalnya, meskipun ribuan mahasiswa turun ke jalan menolak pemotongan anggaran pendidikan, pemerintah tetap melanjutkan kebijakan tersebut. (Reuters.com, Protesters extend 'Dark Indonesia' rally against Prabowo's policies, 2025)
Jika sistem demokrasi membiarkan suara rakyat hanya sebagai formalitas tanpa jaminan untuk didengar, maka pertanyaannya: apakah ada sistem lain yang bisa lebih efektif dalam memastikan aspirasi rakyat benar-benar diakomodasi?
Islam telah menetapkan mekanisme penyampaian aspirasi yang lebih efektif dibandingkan sistem demokrasi. Dalam Islam, kritik dan saran terhadap pemimpin bukan hanya diperbolehkan, tetapi merupakan kewajiban jika kebijakan yang diambil menyimpang dari keadilan. Mekanisme ini dikenal dengan muhasabah lil hukam (evaluasi terhadap penguasa).
Sistem Islam tidak bergantung pada demonstrasi jalanan yang berisiko bentrokan, tetapi melalui mekanisme yang lebih terstruktur, yaitu:
1. Muhasabah oleh Individu dan Ulama
Dalam Islam, setiap individu memiliki hak untuk menasihati pemimpin. Rasulullah ï·º bersabda:"Agama adalah nasihat." Kami berkata, "Bagi siapa?" Beliau bersabda, "Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan bagi para pemimpin kaum Muslimin serta rakyatnya."Ulama dan rakyat berhak memberikan kritik langsung kepada penguasa tanpa takut diintimidasi. Dalam sejarah, Khalifah Umar bin Khattab pernah dikritik oleh seorang wanita di depan umum terkait kebijakan mahar pernikahan, dan Umar pun langsung membatalkan kebijakannya karena kritik tersebut benar.
2. Lembaga Hisbah sebagai Pengawas Pemerintah
Islam memiliki sistem pengawasan khusus yang disebut Hisbah, yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan syariat Islam. Hisbah berfungsi sebagai pengontrol kebijakan publik, memastikan tidak ada penyelewengan dalam pemerintahan, dan memberikan sanksi jika pemimpin melanggar aturan.
3 . Media dan Majelis Umat
Dalam sistem Islam, rakyat memiliki wadah resmi dalam pemerintahan yang disebut Majelis Umat, di mana perwakilan rakyat dapat menyampaikan aspirasi langsung kepada Khalifah (pemimpin negara). Berbeda dengan parlemen dalam demokrasi yang sering dipenuhi transaksi politik dan kepentingan partai, Majelis Umat dalam Islam hanya berfungsi sebagai penyampai aspirasi rakyat tanpa kepentingan politik tertentu.
4. Tanggung Jawab Pemimpin kepada Allah
Berbeda dengan pemimpin dalam demokrasi yang lebih tunduk pada kepentingan partai dan pemodal, pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab utama kepada Allah. Rasulullah ï·º bersabda:"Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya."Ini membuat pemimpin dalam Islam tidak bisa bertindak semena-mena, karena ia sadar bahwa setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Dengan sistem ini, penyampaian aspirasi tidak lagi hanya sekadar tekanan moral yang mudah diabaikan, tetapi menjadi mekanisme yang benar-benar mengikat pemimpin untuk bertindak adil dan berpihak kepada rakyat. Jika kita ingin sistem yang benar-benar mendengarkan suara rakyat tanpa perlu demonstrasi yang berulang kali diabaikan, maka sistem Islam layak untuk dipertimbangkan sebagai solusi.
Mahasiswa telah lama menjadi garda terdepan dalam perjuangan keadilan. Namun, jika pola yang digunakan masih sama, turun ke jalan, menyuarakan protes, lalu tetap menghadapi kebijakan yang tidak berubah, maka sudah saatnya ada evaluasi mendasar. Masalahnya bukan hanya pada kebijakan yang buruk, tetapi pada sistem yang terus melahirkan kebijakan merugikan rakyat.
Islam menawarkan konsep perubahan yang lebih mendasar. Dalam sistem Islam, aspirasi rakyat tidak hanya diteriakkan di jalanan, tetapi disalurkan langsung kepada pemimpin melalui mekanisme syura (musyawarah) yang efektif dan berbasis hukum yang jelas. Pemimpin bertanggung jawab penuh kepada rakyat dan wajib menegakkan keadilan, bukan sekadar mengakomodasi kepentingan segelintir elite.
Jika mahasiswa ingin menjadi agen perubahan sejati, maka perjuangan tidak boleh berhenti di kritik tanpa arah. Perubahan hakiki hanya bisa terjadi jika ada visi yang jelas yaitu mengganti sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang dengan sistem yang lebih adil dan terbukti menyejahterakan. Dari demo ke perubahan nyata, saatnya mahasiswa memperjuangkan solusi mendasar, bukan hanya reaksi sesaat.
0 Komentar