
Oleh: Iaz Al-Fatih
Aktivis Perubahan
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik. Hingga hari ini, persoalan ini tak kunjung menemukan titik terang. Mengapa kasus ini begitu sulit diselesaikan? Apa yang membuat Universitas Gadjah Mada (UGM) bersikeras membela Jokowi meskipun taruhannya adalah reputasi akademik mereka?
Dalam melihat fenomena ini, menarik untuk menelusuri pola yang digunakan dalam kasus serupa, seperti yang terjadi pada proyek Pantai Indah Kapuk (PIK-2) yang melibatkan pengusaha besar, Sugianto Kusuma alias Aguan. Jika ditelusuri lebih dalam, ada pola yang serupa dalam cara kedua kasus ini ditangani.
Model Kejahatan Aguan dalam Kasus PIK-2
Kasus proyek PIK-2 memperlihatkan bagaimana Aguan menguasai berbagai elemen kekuasaan, dari pejabat pemerintahan hingga aparat penegak hukum, demi menjalankan kepentingannya. Dalam skandal pagar laut dan sertifikat laut yang merugikan rakyat Banten, Aguan diduga menggunakan pengaruh dan kekayaannya untuk mengamankan posisinya.
Alih-alih menjerat aktor utama dalam kasus ini, aparat hanya menetapkan Arsin, Kepala Desa Kohod, dan beberapa pihak kecil lainnya sebagai tersangka. Agung Sedayu Group, yang berada di balik proyek ini, tetap tak tersentuh.
Para pejabat yang terlibat seolah berlomba-lomba menutupi kasus ini karena mereka sendiri telah terjerumus dalam kubangan kejahatan Aguan. Mereka tidak hanya melindungi sang taipan, tetapi juga menyelamatkan diri mereka sendiri dari keterlibatan yang lebih dalam.
Paralel dengan Dugaan Ijazah Palsu Jokowi
Pola serupa tampak dalam kasus ijazah palsu Jokowi. Sejak isu ini mencuat, publik menuntut agar Jokowi secara transparan menunjukkan ijazah aslinya. Namun, bukannya menyelesaikan persoalan ini secara terbuka, pihak-pihak terkait justru memilih untuk bertahan dan menutupinya.
UGM, sebagai institusi yang diklaim menerbitkan ijazah tersebut, terlihat enggan bersikap objektif. Para pejabatnya, termasuk Rektor Ova Emilia, terus memberikan pembelaan tanpa bukti yang memuaskan. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan atau keterlibatan lebih dalam di balik layar.
Seperti dalam kasus Aguan, para pejabat UGM yang memilih membela Jokowi sejatinya bukan hanya melindungi sang presiden, tetapi juga menyelamatkan diri mereka sendiri dari kemungkinan keterlibatan dalam skandal ini. Mereka lebih memilih mempertaruhkan kredibilitas institusi akademik daripada mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.
Menjaga Reputasi Institusi: Tanggung Jawab Siapa?
Dalam menghadapi kasus ini, peran alumni dan civitas akademika UGM menjadi sangat penting. Mereka tidak boleh tinggal diam melihat almamater mereka digunakan sebagai alat politik untuk menutupi dugaan kejahatan akademik.
Figur seperti Rismon Hasiholan Sianipar dan Roy Suryo telah mencoba membongkar kasus ini demi menjaga nama baik UGM. Namun, jika gerakan ini hanya dilakukan segelintir orang, hasilnya tidak akan maksimal. Diperlukan dukungan luas agar UGM bisa berdiri di atas prinsip akademik yang sejati.
Menyelamatkan Negeri dari Pola Kejahatan yang Sama
Dugaan pemalsuan ijazah ini bukan sekadar masalah pribadi Jokowi, tetapi menyangkut kredibilitas pendidikan di Indonesia. Jika benar ada manipulasi, ini akan menjadi preseden buruk bagi sistem akademik dan integritas kepemimpinan di negeri ini.
Demikian pula dalam kasus PIK-2, perampasan hak rakyat Banten hanya bisa dihentikan jika masyarakat Indonesia bersatu menolak segala bentuk kejahatan oligarki. Jangan sampai negeri ini tercerai-berai hanya karena segelintir elite yang terus-menerus bermain dengan kekuasaan.
Baik dalam kasus Aguan maupun Jokowi, pola kejahatan ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa digunakan untuk menutupi pelanggaran hukum. Masyarakat harus tetap kritis dan berani mengungkap kebenaran agar negeri ini bisa terhindar dari praktik yang merusak keadilan.
Saatnya kita memilih: diam dalam kebohongan atau berdiri tegak membela kebenaran?
0 Komentar