HATI-HATI! PENUKARAN UANG RECEH MENJELANG LEBARAN BISA JATUH PADA RIBA


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Menjelang Idul Fitri, banyak orang menukar uang receh untuk kebutuhan bagi-bagi THR kepada sanak saudara. Namun, tahukah Anda bahwa ada praktik penukaran uang yang bisa termasuk riba dan haram dalam Islam?


Ketentuan Islam dalam Penukaran Uang

Dalam Islam, pertukaran uang termasuk dalam kategori jual beli barang ribawi yang harus memenuhi dua syarat agar tidak jatuh ke dalam riba, yaitu:
  • Kesamaan nilai (At-Tasawi) – Nilai nominal uang yang ditukar harus sama.
  • Serah terima langsung (At-Taqabudh) – Transaksi harus dilakukan secara kontan tanpa ada penundaan.

Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut masuk dalam kategori riba yang diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa uang, sebagai salah satu alat tukar yang memiliki sifat seperti emas dan perak, harus ditukar dengan nominal yang sama dan dilakukan secara tunai agar terhindar dari riba.


Praktik yang Sering Terjadi di Masyarakat

Sayangnya, praktik di lapangan seringkali berbeda. Banyak penukaran uang receh yang dilakukan dengan potongan biaya jasa, misalnya:
  • Menukar uang Rp100.000 dengan pecahan kecil tetapi hanya mendapatkan Rp90.000 – Rp95.000.
  • Menukar uang secara tidak langsung (utang) seperti menitipkan uang kepada seseorang dan baru menerima uang pecahan di kemudian hari.

Kedua praktik ini bertentangan dengan syariat karena:
  • Tidak ada kesetaraan nilai, yang berarti ada tambahan atau kelebihan dalam pertukaran (riba fadhl).
  • Tidak dilakukan secara tunai, sehingga termasuk dalam kategori riba nasi’ah (riba akibat penundaan).

Padahal, Rasulullah ﷺ telah memperingatkan keras mengenai riba. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).


Solusi agar Terhindar dari Riba

Agar tetap bisa menukar uang tanpa terjerumus ke dalam riba, umat Islam bisa melakukan cara berikut:
  • Menukar uang dengan jumlah yang sama, misalnya Rp100.000 ditukar dengan pecahan Rp100.000 tanpa ada pengurangan.
  • Melakukan transaksi secara langsung tanpa ada penundaan.
  • Jika ingin memberi jasa penukaran uang, lakukan dengan cara jual beli lain yang halal, misalnya menjual barang atau jasa secara sah tanpa mengaitkan dengan pertukaran uang itu sendiri.


Kesimpulan

Penukaran uang receh memang terlihat sepele, tetapi jika dilakukan dengan cara yang tidak sesuai syariat, bisa termasuk dalam riba yang diharamkan. Sebagai Muslim, kita harus berhati-hati dalam setiap transaksi keuangan agar tidak terjerumus dalam dosa besar yang dibenci oleh Allah. Semoga Allah menjaga kita dari jebakan riba. Na’udzubillah min dzalik.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar