ANTIRADIKALISME ATAU ANTIKEBENARAN? SAAT FILM DIJADIKAN ALAT PROPAGANDA


Oleh: Darul Iaz
Aktivis Dakwah

Film Sayap-Sayap Patah 2: Olivia kembali membuka panggung bagi kampanye besar-besaran melawan apa yang disebut “radikalisme.” Disambut hangat oleh jajaran pejabat tinggi Polri, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, film ini bukan sekadar hiburan. Ia hadir sebagai pesan politik, sebagai alat propaganda yang menyasar ruang pikir masyarakat agar semakin takut, curiga, bahkan alergi terhadap simbol-simbol Islam yang dianggap mengganggu status quo.

Dalam pernyataannya, Kapolri menegaskan bahwa film ini menjadi pengingat pentingnya mencegah paham radikal demi menjaga lingkungan masyarakat. Sebuah narasi yang terus diulang-ulang, bahwa radikalisme adalah ancaman nomor satu bangsa ini, dan tugas aparat terutama Densus 88 adalah melindungi rakyat dari bahaya tersebut. Padahal jika kita jujur dan jernih memandang kenyataan, ancaman yang paling nyata justru tidak datang dari ideologi Islam, tetapi dari sistem sekuler yang telah lama merampas keadilan dan kesejahteraan rakyat.


Menyulap Fiksi Menjadi Ketakutan Kolektif

Film ini, meski bergenre fiksi drama, mengambil inspirasi dari peristiwa nyata dan menyulapnya menjadi doktrin sinematik. Penonton disuguhi gambaran tentang perjuangan aparat, ketegangan operasi antiteror, dan pengorbanan pribadi yang menyayat hati. Namun sayangnya, pesan ini dikemas dalam logika yang menyesatkan: bahwa siapa pun yang berbeda pandangan dengan sistem yang berlaku bisa jadi adalah potensi teroris.

Di balik drama humanis tentang seorang ayah tunggal yang bertugas memberantas terorisme, tersimpan pesan ideologis yang cukup serius: masyarakat harus mendukung segala bentuk operasi atas nama melawan radikalisme, meski artinya adalah pembungkaman aspirasi Islam. Padahal, mereka yang hari ini menyerukan penerapan syariat Islam secara kaffah tidak pernah memanggul senjata, tidak pernah meledakkan bom, dan tidak mengacaukan negara. Mereka berdakwah, menyampaikan argumen, dan mengajak kepada solusi ideologis dari kerusakan sistemik yang menjerat bangsa ini.


Narasi Palsu: Siapa Sebenarnya Teroris?

Ironisnya, dalam semua kemegahan kampanye antiradikalisme, masalah mendasar bangsa ini justru diabaikan. Korupsi sistemik, eksploitasi sumber daya oleh oligarki, utang luar negeri yang membengkak, penindasan ekonomi, dan ketimpangan sosial tidak pernah dimasukkan dalam kategori “teror.” Padahal jika ukuran kita adalah ancaman terhadap keamanan dan kehidupan rakyat, maka inilah teror sejati.

Mengapa saat rakyat menjerit karena harga sembako melonjak, karena tanah mereka dirampas atas nama investasi, karena suara mereka dibungkam oleh UU yang mengekang, negara tidak menganggap itu sebagai ancaman? Mengapa yang dituding radikal justru mereka yang menyuarakan keadilan dari perspektif Islam?

Di sinilah letak bahaya narasi radikalisme yang digencarkan tanpa logika kritis. Ia bukan lagi sekadar isu keamanan, tetapi alat legitimasi untuk membungkam, untuk mengendalikan opini publik, dan untuk menyingkirkan ide-ide alternatif yang bisa meruntuhkan dominasi sistem rusak yang sedang dijaga mati-matian.


Islam Bukan Ancaman, Tapi Solusi

Sudah waktunya publik sadar: Islam bukan ancaman. Islam adalah sistem hidup yang pernah membawa dunia pada puncak peradaban. Ia tidak mengajarkan kekerasan tanpa sebab, tidak membolehkan pembunuhan tanpa hak, dan tidak menoleransi penindasan terhadap siapa pun, Muslim atau non-Muslim.

Apa yang diperjuangkan oleh para dai, aktivis dakwah, dan penyeru syariah bukanlah kekacauan, tetapi perubahan. Mereka mengajak pada sistem yang adil, yang tidak dikuasai oleh segelintir elite, yang tidak menjadikan hukum sebagai alat kepentingan. Mereka menawarkan sistem alternatif yang telah terbukti dalam sejarah: Khilafah Islamiyah yang pernah menyatukan bangsa-bangsa, membangun ilmu pengetahuan, dan menjaga hak semua warga.

Namun karena sistem ini tidak sejalan dengan kepentingan politik global, maka narasi “radikalisme” dijadikan senjata. Dunia telah menyaksikan bagaimana pejuang kemerdekaan Palestina disebut teroris oleh penjajah Israel, bagaimana Amerika menyebut negara-negara Muslim yang melawan invasi sebagai ekstremis, dan kini Indonesia terus-menerus dijejali propaganda serupa. Sadar atau tidak, kita sedang dijajah secara wacana, tanpa bom, tanpa tank, tapi lewat film, berita, dan labelisasi.


Saatnya Membalik Narasi

Negeri ini tidak sedang kekurangan cinta, tetapi kekurangan keberanian untuk berpikir merdeka. Merdeka dari narasi tunggal tentang keamanan. Merdeka dari tuduhan radikalisme yang membungkam. Merdeka dari sistem kapitalisme yang melahirkan ketimpangan dan kehancuran sosial.

Jika kita benar-benar ingin menyelamatkan negeri ini, maka mari kita jujur melihat siapa yang sesungguhnya membawa kerusakan, dan siapa yang menawarkan penyembuhan. Islam bukan sumber konflik, tapi titik awal peradaban. Mereka yang menyeru pada syariat bukan musuh negara, tapi penyelamat dari krisis multidimensi yang tak kunjung selesai.

Jangan biarkan sinema dan propaganda membutakan mata nurani. Karena musuh sejati bangsa ini bukan mereka yang menyeru perubahan, tapi mereka yang menutupi kebusukan sistem demi kekuasaan. Mari kembalikan kejernihan akal. Mari buka ruang bagi ide-ide besar, termasuk Islam sebagai sistem kehidupan.

Dan biarlah sejarah yang membuktikan: siapa yang benar-benar peduli pada bangsa ini, mereka yang terus menyebar ketakutan, atau mereka yang terus menyampaikan harapan.

Posting Komentar

0 Komentar