GENERASI RUSAK DALAM SISTEM PENDIDIKAN KAPITALISME


Oleh: Verawati
Penulis Lepas

Dunia pendidikan kembali menjadi sorotan akibat kasus kecurangan dalam pelaksanaan tes masuk perguruan tinggi negeri. Dilansir oleh Kompas.com (25-04-2025), ditemukan sejumlah kecurangan saat pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025. Pada hari pertama ditemukan 9 kasus, dan pada hari kedua ditemukan 2 kasus. Menurut Prof. Eduart Wolok, kecurangan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi perantara berupa perangkat keras (hardware) atau lunak (software), seperti menggunakan ponsel berkamera tersembunyi di berbagai tempat seperti di gigi, kancing, kuku, dan ikat pinggang.

Fakta ini menambah panjang daftar kegagalan dunia pendidikan dalam melahirkan generasi yang berkualitas, cerdas, dan berakhlak mulia. Bahkan untuk hal yang paling mendasar seperti kemampuan membaca, ternyata masih banyak yang belum mampu. Beberapa waktu lalu sempat viral kasus siswa-siswi SMP yang tidak bisa membaca dengan lancar. Dilansir oleh Kompas.com (16-04-2025), ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, ternyata belum mampu membaca dengan lancar. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, Putu Ariadi Pribadi, menyampaikan bahwa terdapat 363 siswa SMP di Buleleng yang memiliki kemampuan membaca rendah.

Masih banyak kasus lainnya yang menunjukkan kegagalan sistem pendidikan yang tengah dijalankan di negeri ini. Maraknya seks bebas, tawuran, aborsi, narkoba, kriminalitas, kecanduan gawai, perjudian daring, serta semakin pudarnya akhlak terhadap guru dan orang tua. Lantas, apa solusinya?


Solusi Fragmentasi

Permasalahan pendidikan yang sedang dihadapi negeri ini memang kompleks. Pendidikan itu sendiri merupakan tema besar yang rumit. Saking rumitnya, seolah tidak terlihat di mana ujung permasalahannya. Solusi yang ditawarkan pun selalu gagal menyelesaikan, bahkan justru memperparah masalah pendidikan.

Banyak pihak menilai bahwa akar permasalahan dunia pendidikan terletak pada alokasi dana, kurikulum, sarana dan prasarana, serta pelaksana pendidikan seperti kepala sekolah, guru, dan murid. Maka berbagai solusi pun dijalankan, seperti mengganti kurikulum, merenovasi gedung sekolah, meningkatkan kualitas guru dan fasilitas, hingga program peningkatan gizi anak. Namun hasilnya tetap nihil, tidak membawa perubahan signifikan.

Hal ini seperti yang disampaikan Presiden Prabowo saat menghadiri peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Kota Bogor. Beliau menyinggung alokasi dana pendidikan yang paling tinggi dan mengingatkan agar anggaran tersebut tepat sasaran. “Bagaimana satu sekolah toiletnya satu?” ujarnya. Program yang direncanakan antara lain renovasi sekolah, bantuan untuk guru honorer, serta pengajaran jarak jauh dengan penyediaan televisi di setiap sekolah (Youtube Kompas TV, 02-05-2025).

Sejatinya, program-program tersebut sudah banyak dilakukan, namun tidak menyentuh akar permasalahan pendidikan. Bahkan tidak jarang justru menjadi proyek ‘balik modal’ bagi para pejabat atau ladang korupsi. Sementara kualitas pendidikan terus merosot dan generasi semakin rusak.

Akar persoalan pendidikan sebenarnya terletak pada sistem pendidikan itu sendiri. Sistem ini berkaitan erat dengan politik, dan politik tidak bebas nilai. Ia dikendalikan oleh ideologi. Saat ini, kapitalisme adalah ideologi yang dianut dan menjadi dasar dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam ideologi ini, pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) menjadi prinsip dasar. Maka tidak heran jika pendidikan yang dijalankan negara saat ini adalah pendidikan yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Porsi pelajaran agama sangat minim. Bahkan pelajaran agama hanya untuk menjawab soal ujian, bukan untuk membentuk pandangan hidup. Alhasil, batasan halal dan haram banyak diabaikan. Anak-anak tidak merasa bersalah saat menyontek, berbuat curang dalam ujian, berpacaran, berzina, mengonsumsi minuman keras, meninggalkan salat, memakai narkoba, dan sebagainya.

Sebaliknya, paham materialisme sangat dominan. Belajar hanya difokuskan pada pengetahuan umum, peningkatan kemampuan kerja, dan mengejar nilai tinggi. Dalam prosesnya, banyak pelanggaran terjadi. Murid malas belajar dan menyontek, lalu guru mengatrol nilai agar sesuai KKM. Padahal kemampuan siswa sangat rendah. Orientasi belajar pun hanya sekadar lulus, mendapatkan ijazah, lalu memperoleh pekerjaan.

Ditambah lagi beban berat jam mengajar dan kewajiban administrasi guru yang rumit, menjadikan aspek kepribadian siswa kurang diperhatikan. Belum lagi gaya hidup hedonis yang semakin merajalela. Tidak hanya siswa yang melanggar norma agama, tetapi juga pendidik. Banyak di antara mereka yang terjerat kasus kekerasan seksual terhadap murid atau pinjaman online.

Di sisi lain, sistem pendidikan semakin kapitalistik. Biaya sekolah dari TK hingga perguruan tinggi semakin mahal. Baik perguruan tinggi negeri maupun swasta sama-sama memberatkan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHP), di mana porsi anggaran dari pemerintah semakin kecil dan kampus dituntut untuk mandiri dalam mencari dana. Cara termudah adalah dengan menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Akibatnya, orientasi mahasiswa bergeser, bukan lagi untuk meraih rida Allah, tetapi semata untuk meraih keuntungan materi.

Pada akhirnya, maraknya kasus kriminal di kalangan generasi muda menunjukkan bahwa pendidikan saat ini gagal mencetak generasi bertakwa. Dekadensi moral semakin parah. “Membesarkan anak hari ini seperti membesarkan monster”, yang ketika dewasa justru menjadi sumber masalah. Pangkalnya adalah penerapan sistem sekuler kapitalistik yang merusak dan membawa efek domino. Maka sudah saatnya dilakukan perubahan sistem, dari kapitalisme menuju sistem Islam.


Pentingnya Sistem Pendidikan Islam

Berbeda dengan kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk pendidikan, Islam justru menjadikannya bagian dari perintah Allah ﷻ, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dalam hadis disebutkan:

"Thalabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wal muslimat." (HR. Ibnu Majah No. 224)

Hadis ini menjelaskan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan, tanpa diskriminasi. Maka pelaksanaannya pun harus mengikuti perintah dan larangan Allah ﷻ.

Tata kelola sistem pendidikan Islam mencakup:
  • Kurikulum berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dirancang agar tidak menyimpang dari akidah tersebut.
  • Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam, disertai ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan.
  • Strategi pendidikan diarahkan pada pembentukan pola pikir dan jiwa Islam (aqliyah dan nafsiyah Islamiyah).
  • Ilmu dibedakan menjadi dua: ilmu terapan (sains dan teknologi) dan tsaqafah Islam. Ilmu terapan diajarkan sesuai jenjang dan kebutuhan, sementara tsaqafah diajarkan di seluruh jenjang.
  • Negara menyediakan pendidikan dasar (ibtidaiyah) dan menengah (tsanawiyah) secara gratis, juga tersedia perguruan tinggi tanpa pungutan biaya.
  • Fasilitas pendidikan disediakan secara layak dan berkualitas, untuk melahirkan ilmuwan, mujtahid, penemu, dan inovator.
  • Pembiayaan pendidikan sepenuhnya ditanggung baitulmal, termasuk gaji guru dengan kualitas terbaik. Jika baitulmal kosong, pembiayaan akan diambil dari kaum Muslimin (dharibah).

Dengan sistem pendidikan seperti ini, siswa akan semangat belajar karena menjalankan perintah Allah. Tujuan belajar bukan sekadar untuk mencari dunia, tetapi meraih ilmu yang berkah dan rida-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barang siapa yang mempelajari ilmu yang dengannya bisa memperoleh keridaan Allah, tetapi ia mempelajarinya hanya untuk meraih keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)

Guru pun mengajar dengan penuh tanggung jawab, karena kedudukan guru sangat mulia dan termasuk amal jariyah. Mereka dipilih dari kalangan orang yang bertakwa, berilmu, dan profesional, sehingga mampu mendidik siswa secara benar dan menjadi teladan yang baik.

Selain negara, keluarga dalam sistem Islam menjadi madrasah pertama. Ibu fokus mendidik dan mengasuh anak-anak, sementara masyarakat juga ikut serta dalam amar makruf nahi mungkar, termasuk mengingatkan jika ada pelajar yang menyimpang. Maka seluruh pilar bersinergi mencetak generasi cemerlang.


Pendidikan Islam Melahirkan Generasi Cemerlang

Keberhasilan sistem Islam dalam mencetak generasi unggul tidak perlu diragukan. Banyak ilmuwan Muslim yang diakui dunia, salah satunya adalah Ibnu Sina, ahli dalam bidang kedokteran dan dijuluki Bapak Kedokteran Modern. Karya terkenalnya adalah Al-Qanun fi al-Thibb (Kitab Kanun dalam Kedokteran). Ia juga menemukan obat bius yang sangat penting dalam dunia medis. Selain itu, Ibnu Sina juga menguasai berbagai bidang ilmu lainnya seperti filsafat, fikih, dan sebagainya.

Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu, ilmu mudah diakses oleh para pencinta ilmu, dan sistem pendidikan Islam terbukti mampu melahirkan generasi yang unggul.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar