MARAK PREMANISME NISCAYA DALAM SISTEM KAPITALISME


Oleh: Maya Dhita
Pegiat Literasi

Sejumlah 22 preman ditangkap saat melakukan aksinya di wilayah Jawa Barat dalam Operasi Berantas Jaya 2025 yang dilakukan di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat. (13-5-2025). Meski tak mengaku berasal dari organisasi mana, tetapi dari pendalaman jajaran reserse para pelaku merupakan oknum dari beberapa organisasi dan karang taruna.

Bentuk aksi premanisme ini berupa pungutan liar bulanan dan harian kepada pedagang kaki lima (PKL). Pungutan dengan dalih uang pangkal ditagih setiap bulannya. Sedangkan untuk harian berupa pungutan kebersihan dan listrik. Aksi ini juga terorganisasi cukup rapi dilihat dari barang bukti berupa karcis yang dibuat sendiri dan rekapan hasil pungutan. (Kompas.tv, 14-Mei-2025)


Meresahkan

Aksi premanisme ini tentu meresahkan para pedagang kaki lima (PKL). Bagaimana tidak, pungutan liar yang harus dibayarkan cukup besar. Seorang pedagang di Pasar Induk Kramat Jati mengutarakan bahwa setiap bulan harus menyetor uang kepada pengurus PKL sebesar Rp1 juta rupiah. Belum lagi setoran harian Rp20 ribu rupiah. Jika menolak maka tidak boleh jualan di tempat tersebut. (TVNews.com, 14-5-2025)

Pungutan liar ini memang telah berlangsung puluhan tahun. Meski merasa keberatan, tetapi para PKL ini tetap mau membayar karena bisa tenang berjualan tanpa takut ditertibkan oleh Satpol PP.

Di lain sisi, pedagang resmi di dalam los pasar yang membayar uang retribusi resmi ke Perusahaan Umum Daerah (Perumda) merasa terganggu karena keberadaan PKL yang memenuhi pintu masuk. PKL ini seakan tak tersentuh setelah membayar jutaan rupiah ke oknum ormas.


Lingkaran Setan

Praktik premanisme niscaya terjadi di sistem kapitalisme. Pasar menjadi tempat utama di samping tempat dan fasilitas umum lainnya. Di mana ada sekumpulan PKL, di situ pasti jadi tempat empuk keberadaan preman-preman.

Preman-preman ini seakan membuat kerajaan sendiri di area pasar. Mereka memiliki pemimpin dan membuat aturan-aturan sendiri. Untuk melanggengkan keberadaan mereka tentu tidak gratis. Ada upeti-upeti dalam jumlah besar yang harus dibayarkan. Inilah yang membuat mereka seakan kebal hukum.

Penertiban yang dilakukan aparat pun seakan hanya gertak sambal. Tidak ada sanksi tegas apalagi efek jera yang ditimbulkan. Tentu saja karena ada hubungan mutualisme yang harus dijaga. Jika tidak, seharusnya para preman ini sangat mudah ditangkap karena keberadaannya telah menjadi rahasia umum.


Paradigma Islam

Dalam sistem pemerintahan Islam yang tergambar dalam Daulah Khilafah, pasar merupakan harta kepemilikan umum (milkiyah 'ammah). Begitu juga keberadaan pasar yang dianggap vital bagi umat baik secara ekonomi maupun sosial. Untuk itu negara dalam sistem khilafah memegang kontrol penuh dalam menjaga keamanannya termasuk atas tindak kezaliman seperti premanisme atau penyimpangan lainnya.

Untuk menjalankan tugas tersebut Khalifah menerapkan sistem pengawasan yang ketat melalui lembaga hisbah. Dalam kitab Ajhizah al-Dawlah al-Khilafah dijelaskan bahwa hisbah merupakan peradilan yang menyelesaikan masalah berbagai penyimpangan (mukhalafat) yang dapat membahayakan jamaah. Sedangkan muhtasin adalah qadhi (hakim) yang menyelesaikan masalah penyimpangan-penyimpangan yang dapat membahayakan hak jemaah.

Adapun aktivitas yang dilakukan oleh peradilan hisbah (lembaga pengawasan) sendiri adalah monitoring terhadap para pedagang atau pelaku bisnis, para tukang dan pekerja untuk mencegah mereka dari melakukan penipuan dalam perdagangan atau bisnis mereka, pekerjaan, dan hasil-hasil karya mereka. Juga penggunaan takaran dan timbangan yang dapat membahayakan jemaah.

Sedangkan dalil untuk peradilan yang menyelesaikan masalah mukhalafat adalah apa yang sudah ditetapkan dalam perbuatan dan sabda Rasulullah ﷺ berikut:

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي [اخرجه مسلم] او قال: لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ [اخرجه أحمد وإبن ماجه وأبو داود والبيهقي] او قال: مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا [اخرجه الترمذي] او قال: مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ منا [اخرجه إبن حبان والبيهقي]
Siapa saja yang melakukan penipuan/kecurangan maka bukan dari golonganku” (HR Muslim); atau “Bukan golongan kami orang yang melakukan penipuan/kecurangan” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, al-Baihaqi); atau “Siapa saja yang melakukan penipuan/kecurangan maka bukan dari golongan kami” (HR at-Tirmidzi); atau “Siapa saja yang melakukan penipuan/kecurangan maka bukan golongan kami” (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

Rasulullah ﷺ telah memerintahkan aktivitas hisbah dan mengurusi langsung penyelesaian perkara dalam masalah tersebut. Rasulullah ﷺ mengangkat Sa'id bin Al 'Ash sebagai amil beliau untuk mengurusi pasar di Mekah.

Pada masa Khalifah Umar bin Al Khattab juga pernah mengangkat asy-Syifa', seorang wanita dari kaumnya yang bernama Ummu Sulaiman bin Abi Hatsman sebagai qadhi hisbah. Sedangkan Umar pernah melaksanakan sendiri tugas penyelesaian perkara hibah. Ia berkeliling di pasar-pasar sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Demikian pula pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid di mana al-muhtasib berkeliling di pasar untuk menguji timbangan dan takaran dari penipuan juga mengawasi transaksi-transaksi para pedagang.


Khatimah

Pasar adalah harta kepemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai oleh ormas, kelompok, maupun individu tertentu. Pengawasan ketat oleh negara sangat diperlukan untuk mencegah adanya tindak kezaliman dan ketidakadilan.

Dibentuknya qadhi hisbah dan diangkatnya muhtazib agar mampu menindak secara langsung segala bentuk kecurangan, intimidasi, pemalakan, dan praktik zalim tanpa memerlukan birokrasi yang panjang. Adanya sanksi tegas (hudud atau takzir) berikut efek jera yang ditimbulkan akan mewujudkan ketertiban, keadilan, dan rasa aman.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar