JANGAN AJARI GENERASI MEMBENCI TELADAN NABI


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Dalam acara wisuda santri angkatan ke-10 Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah yang diasuh KH. Said Aqil Siraj di Jakarta Selatan (17 Mei 2025), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyampaikan bahwa wataniah (nilai-nilai nasionalisme) harus menjadi dasar utama sistem pendidikan Indonesia.

Beliau mengapresiasi ikrar para santri yang dianggap sebanding dengan semangat taruna militer, karena menunjukkan nasionalisme yang tinggi. Tiga hal lainnya yang juga dianggap penting adalah akhlak, penguasaan ilmu dan teknologi, serta semangat kewirausahaan.

Namun, muncul pertanyaan penting: benarkah nasionalisme layak dijadikan pondasi pendidikan, apalagi di pesantren yang dikenal sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam?


Nasionalisme Bukan Ajaran Islam

Sungguh ironis, di pesantren yang seharusnya mencetak generasi pejuang Islam, justru ditanamkan nilai nasionalisme—sebuah paham yang tidak pernah diajarkan Nabi ï·º.

Nasionalisme adalah paham cinta tanah air yang berakar pada keterikatan seseorang terhadap wilayah tertentu. Dalam konteks negara bangsa (nation state), nasionalisme menekankan kepentingan satu negara di atas yang lain, tanpa kewajiban peduli pada negeri lain—bahkan jika negeri itu dihuni oleh sesama Muslim.

Lihat saja tragedi di Gaza. Dunia Islam tampak tak berdaya menghadapi kebiadaban Israel. Para pemimpin Muslim lebih memilih menjaga hubungan baik dengan penjajah, bahkan memberi bantuan kepada mereka, daripada membela saudara seiman yang ditindas. Ini adalah dampak dari nasionalisme: mematikan ukhuwah Islamiyah dan membunuh rasa solidaritas antarumat.

Nasionalisme juga lahir dari akar sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Ia menolak syariat sebagai dasar pengaturan hidup. Maka, wajar jika generasi yang dijejali nasionalisme akan memandang agama sebagai beban, bukan petunjuk hidup.

Padahal pesantren semestinya menjadi benteng terakhir untuk melawan arus sekularisasi dalam dunia pendidikan. Di saat kurikulum nasional fokus pada pembentukan karakter “Pancasilais”, pesantren harusnya tampil dengan pendekatan Islam kaffah: mengajarkan fikih, hadis, sirah, dan ilmu keislaman lainnya—bukan malah ikut-ikutan menjadikan nasionalisme sebagai pondasi.

Lebih parah lagi, atas nama nasionalisme, kekayaan negeri dijual ke asing. Sumber daya alam diekspor murah, rakyat tetap miskin, harga sembako naik, BBM langka, biaya pendidikan mahal, dan pajak terus mencekik. Semua ini justru terjadi di bawah sistem yang mengagung-agungkan nasionalisme.


Ikatan Terkuat Umat Bukan Tanah Air, Tapi Akidah

Islam mengajarkan bahwa ikatan terkuat antar manusia bukan tanah air, bukan bahasa, dan bukan warna kulit—melainkan akidah. Rasulullah ï·º bersabda:

لمُسْÙ„ِÙ…ُ Ø£َØ®ُÙˆ المُسْÙ„ِÙ…ِ، لاَ ÙŠَظْÙ„ِÙ…ُÙ‡ُ، Ùˆَلاَ ÙŠَخذُÙ„ُÙ‡ُ، ÙˆَÙ„َا ÙŠَÙƒْذِبُÙ‡ُ، ÙˆَÙ„َايَØ­ْÙ‚ِرُÙ‡ُ. التَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ Ù‡َاهُÙ†َا ÙˆَÙŠُØ´ِÙŠْرُ Ø¥ِÙ„َÙ‰ صَدْرِÙ‡ِ Ø«َلاَØ«َ Ù…َرَّاتٍ
Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini 'beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali'.” (HR. Muslim)

Menghina sesama Muslim sudah tergolong kejahatan. Apalagi jika sampai membiarkannya kelaparan, terzalimi, dan tidak dibela hanya karena tinggal di negeri lain. Rasulullah ï·º tidak pernah mengajarkan nasionalisme. Beliau mengajarkan umat untuk bersatu karena iman, bukan karena batas negara.

Itulah mengapa dalam sejarah Islam, umat disatukan oleh satu institusi: Khilafah Islamiyah. Rasulullah ï·º bersabda:

Ø¥ِÙ†َّÙ…َا اْلإِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Khilafah menyatukan umat lintas bangsa dan negara. Ia menjadikan syariat sebagai hukum yang berlaku dan menjadikan pembelaan terhadap kaum Muslimin sebagai kewajiban negara, bukan pilihan.


Pendidikan Harus Berdiri di Atas Akidah Islam

Sudah seharusnya generasi Muslim sejak dini dibekali pemahaman yang benar: bahwa identitas mereka bukan sekadar sebagai warga negara, tapi sebagai hamba Allah dan bagian dari umat Muhammad ï·º. Mereka harus tumbuh dengan kepribadian Islam, berpola pikir dan bersikap sesuai syariat.

Jika kita terus menanamkan nasionalisme, maka jangan heran jika generasi kita mencintai tanah air tapi membenci sesama Muslim. Ini adalah bencana peradaban yang harus dihentikan.

Pesantren harus kembali kepada jati dirinya: mencetak generasi pencinta ilmu, pejuang Islam, dan pembela umat. Bukan menjadi alat pelestarian sistem sekuler yang merusak umat dari dalam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar