
Oleh: Diaz
Jurnalis
Konflik Palestina-Israel bukan sekadar sengketa dua bangsa. Ini adalah tragedi kolonialisme modern yang berdarah sejak akhir abad ke-19 dan disahkan oleh dunia internasional. Rakyat Palestina bukan hanya dijajah, tetapi juga diusir dari tanah leluhurnya, dibunuh, dikurung, dan dilucuti hak-haknya di depan mata dunia.
Untuk memahami betapa panjang dan kejamnya kejahatan Zionis terhadap Palestina, kita perlu menelusuri akar sejarahnya—dan melihat bagaimana dunia internasional, termasuk Indonesia, bersikap hari ini.
Proyek Kolonial Bertopeng Agama
Pada tahun 1896, Theodor Herzl menawarkan £20 juta kepada Sultan Abdul Hamid II agar mengizinkan pemukiman Yahudi di Palestina. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. Sang Sultan menegaskan bahwa Palestina adalah milik umat, bukan tanah yang bisa diperjualbelikan.
Setahun kemudian, Herzl menggelar Kongres Zionis Pertama di Basel, Swiss. Di sinilah lahir cita-cita mendirikan negara Yahudi di Palestina, wilayah yang saat itu berada di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah. Proyek ini didukung penuh oleh para bankir Yahudi Eropa.
Herzl yakin Khilafah akan tunduk karena tekanan utang luar negeri yang dikendalikan melalui lembaga bernama Administrasi Utang Publik Turki Utsmani. Lembaga ini mewakili kekuatan kolonial Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia. Maka Herzl berharap bisa “membeli” tanah Palestina dengan memanfaatkan krisis keuangan Kekhilafahan. Namun, upaya ini tetap gagal.
Gagasan Zionisme memang merupakan proyek kolonial untuk memindahkan orang-orang Yahudi Eropa ke Palestina dan merupakan solusi terbaik bagi Eropa untuk memindahkan orang Yahudi yang selalu membuat masalah di Eropa. Di balik narasi “melarikan diri dari antisemitisme,” proyek ini sejatinya adalah kolonisasi. Herzl dan para pendukungnya ingin menjadikan Palestina sebagai tempat pelarian bagi Yahudi yang kerap ditolak masyarakat Eropa karena berbagai konflik sosial yang mereka timbulkan.
Namun, komunitas Yahudi yang telah lama hidup di wilayah Khilafah Utsmaniyah menolak gagasan tersebut. Mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari rakyat Turki Utsmani dan tetap setia kepada negara.
Ditolak Khilafah, Zionis Menyandarkan Harapan ke Barat
Pada 1901, Herzl bertemu langsung dengan Sultan Abdul Hamid II dan kembali menawarkan solusi ekonomi. Sang Sultan tetap menolak. Ia menyadari bahwa gerakan Zionis adalah ancaman nyata, mirip kolonisasi Eropa di Amerika dan Australia.
Bukti-bukti kekhawatiran ini muncul dari berbagai laporan resmi, termasuk dari Duta Besar Khilafah Utsmaniyah di Berlin, yang mengonfirmasi bahwa Zionisme bertujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina. Setelah ditolak oleh Khilafah, Herzl beralih kepada Inggris—dan inilah titik balik yang membuka jalan kelahiran negara Israel.
Pengkhianatan Inggris dan Deklarasi Balfour
Pada masa Perang Dunia I, Inggris membujuk bangsa Arab untuk memberontak melawan Khilafah Utsmaniyah dengan janji kemerdekaan. Namun, setelah Khilafah runtuh, Inggris justru mengkhianati janji itu. Pada 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menyatakan dukungan terhadap pendirian negara Yahudi di Palestina.
Usai perang, Khilafah Utsmaniyah menandatangani Gencatan Senjata Mudros (1918), dan Inggris memperoleh mandat atas Palestina dari Liga Bangsa-Bangsa. Mandat ini digunakan untuk mempercepat kolonisasi Yahudi. Bendera Israel dikibarkan, simbol-simbol Arab dilarang, dan ketimpangan sosial pun terjadi dan sangat mencolok.
Ketika rakyat Palestina melawan, Inggris menindas mereka secara brutal. Mulai tahun 1936 hingga 1939, sekitar 19.000 warga Palestina gugur dalam perlawanan terhadap Inggris dan Zionis.
Nakba 1948, Ketika Dunia Membiarkan Genosida
Nakba (malapetaka) terjadi setelah Perang Dunia II, PBB mengusulkan pembagian Palestina melalui Resolusi 181 (1947). Ironisnya, 56% wilayah diberikan kepada Yahudi yang hanya 7% dari populasi, sementara rakyat Palestina yang 80% hanya mendapatkan 43% wilayah.
Zionis menolak perundingan. Mereka menjalankan Plan Dalet, strategi pembersihan etnis. Desa demi desa dihancurkan. Di Deir Yassin, 250 warga sipil dibantai. Sekitar 800.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka yang menyebabkan rakyat Palestina menjadi pengungsi hingga hari ini.
Naksa 1967 dan Intifada
Pada 1967, Israel menyerang negara-negara Arab dan merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, serta Yerusalem Timur. Lebih dari 600.000 warga Palestina terusir kembali. Peristiwa ini dikenal sebagai Naksa (malapetaka kedua).
Perlawanan rakyat Palestina terus berlanjut. Pada 1987, Intifada pertama meledak dan Hamas lahir. Namun sejak kemenangan Hamas dalam pemilu 2006, Gaza diblokade total. Israel melancarkan invasi brutal ke Gaza pada 2008, 2012, 2014, dan 2021 dengan ribuan korban jiwa.
Puncak Perlawanan Tahun 2023
Pada 7 Oktober 2023, pejuang Hamas melancarkan serangan balasan melalui Operasi Badai Al-Aqsa (operasi skala besar di Gaza dimaksudkan untuk mempertahankan Masjid Al-Aqsa). Israel membalas dengan melakukan genosida secara terang-terangan tanpa mempedulikan aturan perang, lebih dari 41.500 warga Palestina gugur, mayoritas perempuan dan anak-anak. Dunia menyaksikan. Sebagian bungkam, sebagian mulai bersuara.
Sikap Indonesia dan Barat Tahun 2025
Di tengah derasnya aliran darah di Gaza, dunia mulai menunjukkan perubahan sikap. Pada 28 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia tak akan mengakui Israel sebelum Palestina merdeka dengan menyatakan:
“Indonesia siap mengakui Israel dan membuka hubungan diplomatik setelah Israel mengakui Palestina.”
Pernyataan ini sejatinya kontradiktif. Di saat rakyat Gaza berjuang mempertahankan tanahnya, pernyataan ini justru menjadi bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. Israel adalah penjajah, bukan pihak yang bisa disejajarkan dalam diplomasi.
Sementara itu, Prancis menyatakan akan mengakui Negara Palestina pada Konferensi PBB Juni 2025. Presiden Emmanuel Macron berkata:
“Kami tidak bisa mewariskan kekerasan dan kebencian kepada anak-anak Gaza... Kami bertekad mengakui Negara Palestina.”
Namun di balik ini semua, Amerika Serikat tetap menjadi penggerak utama normalisasi Israel. Lewat Abraham Accords, negara-negara Arab dipaksa berdamai dengan penjajah. Upaya normalisasi ini, seperti yang ditegaskan oleh Antony Blinken saat berkunjung ke Indonesia tahun 2021, harus ditolak karena sejatinya mendukung kejahatan.
Solusi Dua Negara Merupakan Legalisasi atas Penjajahan
Gagasan two-state solution bukanlah solusi. Itu justru bentuk legalisasi terhadap penjajahan. Palestina adalah tanah umat Islam, tanah kharajiyah yang ditaklukkan melalui futuhat oleh kaum Muslimin.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Palestina dibebaskan dari Romawi dan dijadikan wilayah Islam. Beliau bahkan menandatangani Perjanjian Umariyah, yang salah satu isinya melarang Yahudi tinggal di Baitul Maqdis.
Baitul Maqdis lalu dikuasai tentara Salib pada Perang Salib I (1096—1102 M). Selama hampir 90 tahun berada di bawah kekuasaan kaum Nasrani, penduduk muslim disana banyak mendapat perlakuan yang buruk dari mereka. Namun, di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi, kaum muslim berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan orang-orang kafir, tepatnya pada 27 Rajab 583 H (1187 M).
Kemudian Sultan Abdul Hamid II pun menolak permintaan Herzl karena menjaga kehormatan Islam. Semua ini menunjukkan bahwa hanya Khilafah yang mampu melindungi Palestina dari penjajahan.
Khilafah Satu-satunya Solusi untuk Palestina
Sejarah mencatat bahwa pembebasan Palestina selalu dilakukan oleh pemimpin umat Islam yang memegang kekuasaan. Dari Umar bin Khattab hingga Shalahuddin al-Ayyubi, pembebasan Baitul Maqdis dilakukan melalui jihad fi sabilillah dan kepemimpinan Islam.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR. Muslim).
Hanya dengan tegaknya Khilafah Islamiyyah, umat Islam akan memiliki kekuatan politik untuk membebaskan Palestina dan melindungi kehormatan Al-Quds.
Khatimah
Umat Islam memikul tanggung jawab besar untuk mengembalikan kemuliaan Palestina. Bukan melalui diplomasi semu atau solusi palsu, tetapi melalui persatuan di bawah sistem Islam kaffah. Inilah jalan yang telah dicontohkan para pemimpin besar umat di masa lalu—dan inilah pula jalan pembebasan yang sejati.
Wallahu a'lam bish-shawab.

0 Komentar