
Oleh: Mimin Kamila
Muslimah Peduli Umat
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah baru-baru ini meluncurkan kebijakan yang memberikan kesempatan bagi siswa SMA dan SMK dari keluarga kurang mampu untuk bersekolah secara gratis di sekolah swasta pilihan. Program ini diklaim sebagai yang pertama di Indonesia dalam menggratiskan biaya pendidikan di sekolah swasta.
“Pendidikan ini merupakan investasi masa depan. (Kemitraan) ini merupakan yang pertama,” ujar Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, pada Senin (19/5/2025).
Program ini menggandeng 139 sekolah swasta—terdiri dari 56 SMA dan 83 SMK—yang tersebar di berbagai wilayah Jawa Tengah. Untuk Tahun Ajaran 2025/2026, pemerintah menyediakan tambahan 5.004 kursi melalui skema Penerimaan Murid Baru (SPMB). Tujuan utamanya adalah memperluas akses pendidikan bagi generasi muda dan menekan angka putus sekolah.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk upaya nyata. Namun, tetap ada catatan kritis yang perlu diperhatikan. Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, bukan sekadar fasilitas bagi kelompok miskin. Ketika akses pendidikan hanya dibuka bagi mereka yang tidak mampu, itu menunjukkan bahwa pendidikan masih dipandang sebagai beban ekonomi, bukan kebutuhan esensial yang wajib dipenuhi negara untuk seluruh rakyat.
Selama ini, program bantuan pendidikan seperti BOS dan KIP hanya menjadi solusi jangka pendek yang tidak menyentuh akar persoalan ketimpangan dan kemiskinan struktural. Ketimpangan akses, terutama di daerah terpencil, menunjukkan bahwa sistem pendidikan dalam kerangka kapitalisme masih menjadikan pendidikan sebagai komoditas mahal, bukan sebagai hak publik.
Di tingkat nasional, pemerintah mencoba menjawab ketimpangan ini dengan menawarkan dua model pendidikan: Sekolah Rakyat untuk masyarakat kurang mampu dan Sekolah Garuda Unggul untuk kalangan menengah ke atas. Walau terlihat seperti langkah pemerataan, pendekatan ini sejatinya hanya kompromi populis yang tidak menyelesaikan problem mendasar dalam sistem pendidikan. Alih-alih menjadi solusi permanen, kebijakan semacam ini justru memperkuat dualisme dan ketidakadilan pendidikan dalam sistem kapitalisme yang sudah terbukti gagal.
Islam memandang pendidikan sebagai hak syar’i setiap individu, setara dengan hak atas layanan kesehatan dan keamanan. Negara bertanggung jawab penuh dalam menyediakan dan membiayai pendidikan melalui Baitul Maal, tanpa membedakan si kaya dan si miskin, maupun penduduk kota dan pelosok.
Islam tidak menjadikan pendidikan sebagai alat mengatasi persoalan ekonomi negara, tetapi sebagai sarana mencetak generasi unggul—yang memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah), menguasai ilmu pengetahuan, dan siap memikul amanah dakwah serta jihad demi tegaknya peradaban Islam. Sistem ekonomi Islam justru dirancang untuk menopang sistem pendidikan, bukan menjadikannya alat ekonomi.
Dengan sistem pendidikan Islam yang kokoh dan terpadu, akan lahir generasi Muslim yang menjadi penjaga, pembangun, sekaligus penyebar peradaban Islam yang mulia. Pendidikan Islam bukan hanya menyelesaikan problem duniawi, tapi juga menjadi mercusuar bagi peradaban global—menjadi kiblat bagi dunia.
Wallahu a’lam bish-shawab

0 Komentar