KEMISKINAN BUKAN TAKDIR: SAATNYA INDONESIA BANGKIT DENGAN SISTEM YANG ADIL


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Di tengah deretan pencakar langit, geliat pertumbuhan ekonomi, dan narasi "kebangkitan Indonesia", ada kenyataan yang tak bisa disembunyikan: kemiskinan masih menjadi wajah buram bangsa ini.

Menurut data Bank Dunia, lebih dari 60,3% penduduk Indonesia sekitar 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan internasional (US$6,85 PPP per hari). Artinya, lebih dari separuh rakyat negeri ini sesungguhnya belum mampu hidup layak, meskipun Indonesia secara resmi dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023.

Sementara itu, versi pemerintah (BPS) menyebut angka kemiskinan "hanya" 8,57% atau sekitar 24 juta jiwa. Perbedaan ini disebabkan oleh standar garis kemiskinan yang berbeda. Namun apa pun versinya, data tetap berbicara: jutaan rakyat masih terjebak dalam kemiskinan, dan kondisi ini tidak bisa dipandang remeh.

Lebih menyedihkan lagi, bukan hanya soal kemiskinan, tetapi juga ketimpangan ekonomi yang sangat curam. Laporan Global Inequality Report 2022 menempatkan Indonesia sebagai negara ke-6 dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia. Hanya empat orang terkaya di negeri ini mampu menandingi total kekayaan 100 juta rakyat termiskin. Kesenjangan ini tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Lantas, apa akar persoalan ini?


Kapitalisme: Biang Kerok Kemiskinan Struktural

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia bukan sekadar akibat malas bekerja, kurang pendidikan, atau masalah teknis belaka. Ini adalah kemiskinan struktural yang lahir dari sistem yang salah: kapitalisme.

Sistem ini membiarkan sumber daya negeri dikuasai korporasi, mendukung liberalisasi, serta menjadikan negara sekadar "pengatur lalu lintas" pasar, bukan pelayan rakyat. Subsidi untuk rakyat dipangkas, sementara konglomerat diberi karpet merah dalam menguasai sumber daya vital. Akibatnya, kekayaan menumpuk pada segelintir elit, sementara mayoritas rakyat terus bergulat dengan kebutuhan dasarnya.

Dalam sistem ini, negara lebih tampak sebagai pelindung kepentingan investor dibanding penjaga kesejahteraan rakyat.


Islam: Solusi Hakiki Mengatasi Kemiskinan

Islam tidak memandang kemiskinan sebatas ketiadaan materi. Lebih dari itu, ia melihat ketidakmampuan individu memenuhi kebutuhan pokoknya secara bermartabat sebagai indikator utama kemiskinan. Al-Qur’an menyebut fakir dan miskin sebagai pihak yang berhak mendapat zakat (surat at-Taubah: 60).

Dalam pandangan ulama, orang fakir adalah yang penghasilannya di bawah kebutuhan dasar, sementara miskin adalah mereka yang benar-benar tak memiliki apa pun dan enggan meminta-minta. Keduanya berhak mendapat perhatian dan bantuan negara.

Namun, Islam tidak berhenti pada urusan sedekah. Islam hadir dengan sistem ekonomi yang adil dan solutif, dengan prinsip utama: keadilan distribusi kekayaan. Harta tidak boleh hanya beredar di tangan orang-orang kaya saja (surat al-Hasyr: 7). Inilah pembeda utama dengan kapitalisme yang menghalalkan konsentrasi kekayaan.

Dalam Islam, negara bukan hanya regulator, tetapi aktor utama yang wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat: pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan "secara cuma-cuma".


Langkah Nyata dalam Sistem Ekonomi Islam

Ada empat mekanisme utama dalam sistem Islam untuk mengatasi kemiskinan:
  • Pengaturan Kepemilikan yang Adil: Islam membagi kepemilikan menjadi tiga: individu, umum, dan negara. Sumber Daya Alam (SDA) strategis seperti minyak, gas, tambang adalah milik umum yang haram diserahkan kepada swasta atau asing. Negara wajib mengelolanya demi kepentingan rakyat.
  • Distribusi Kekayaan melalui Zakat dan Jaminan Sosial: Zakat bukan sekadar ibadah, tapi mekanisme resmi negara untuk distribusi kekayaan. Islam juga menghidupkan budaya infak, sedekah, dan hibah untuk menutup kesenjangan sosial.
  • Kewajiban Individu untuk Bekerja & Negara Menyediakan Lapangan Kerja: Setiap laki-laki dewasa wajib bekerja mencari nafkah. Negara bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja melalui pembangunan sektor riil: pertanian, perdagangan, dan industri. Bukan dengan menjual BUMN atau membuka keran investasi asing sebesar-besarnya.
  • Negara Menjamin Kebutuhan Dasar: Dalam sistem Islam, pemimpin adalah ra’in (pengurus rakyat). Ia wajib memastikan tidak ada satu pun warga negara yang kelaparan, tidak sekolah, atau tidak bisa berobat karena tak punya uang. Rasulullah ï·º bersabda:
الإِÙ…َامُ رَاعٍ Ùˆَ Ù‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
"Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. an-Nasa’i)


Khilafah: Sistem yang Menghentikan Kemiskinan dari Akar

Semua mekanisme di atas hanya akan berjalan jika diterapkan dalam sistem yang kompatibel: Khilafah Islamiyah. Inilah institusi pemerintahan Islam yang menegakkan syariah secara menyeluruh, bukan parsial. Dalam Khilafah, kekuasaan adalah amanah untuk mengurusi urusan umat, bukan alat memperkaya segelintir orang.

Dengan sistem ini, kekayaan tidak dimonopoli. SDA dikelola demi maslahat umat. Setiap rakyat mendapat akses terhadap pendidikan dan kesehatan tanpa diskriminasi. Fakir dan miskin tidak dibiarkan hidup dalam kehinaan. Sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:

Ù…َا آمَÙ†َ بِÙŠ Ù…َÙ†ْ بَاتَ Ø´َبْعَانًا ÙˆَجَارُÙ‡ُ جَائِعٌ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ بِÙ‡ِ
"Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya lapar dan ia mengetahui keadaannya." (HR. ath-Thabarani)


Bangkitkan Solusi dari Islam

Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah. Namun selama pengelolaannya diserahkan kepada sistem yang rakus dan tak adil, maka kemiskinan akan terus menjadi cerita pahit anak bangsa.

Saatnya kita sadar: kemiskinan bukan takdir, tapi hasil dari sistem yang rusak. Dan Islam datang bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi jalan hidup yang membawa solusi nyata. Sudah saatnya umat ini bangkit dan memperjuangkan penerapan sistem Islam secara total dalam bingkai Khilafah. Hanya dengan itulah, kemiskinan bisa dihapuskan, bukan sekadar dikurangi.

Posting Komentar

0 Komentar