KETAKUTAN PARA PENGUASA ZALIM TERHADAP TEGAKNYA ISLAM


Oleh: Neneng Hermawati
Pendidik Generasi Cemerlang

Dalam sebuah upacara peringatan di Kota Jaffa, Tel Aviv, Senin malam (21/4/2025), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa ia tidak akan pernah menerima pembentukan kekhilafahan di kawasan Mediterania atau di wilayah lain mana pun, termasuk Yaman dan Lebanon. Netanyahu juga menegaskan bahwa Israel akan terus mengambil langkah-langkah untuk mengubah kondisi Timur Tengah demi kelangsungan hidup negaranya. (Arrahmah.id, 23/4/2025)

Pernyataan tersebut mencerminkan kekhawatiran Netanyahu terhadap semakin kuatnya seruan penegakan kekhilafahan di berbagai belahan dunia. Menurut sebagian pihak, pendudukan Palestina oleh Zionis Israel hanya dapat dihentikan melalui pengiriman pasukan jihad di bawah komando seorang khalifah sebagai pemimpin tunggal umat Islam yang berani menghadapi penjajahan di Palestina.

Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukung Palestina, mulai dari pengiriman bantuan kemanusiaan, doa bersama, aksi massa, hingga seruan boikot. Namun, kenyataannya, langkah-langkah tersebut belum mampu menghentikan agresi brutal Zionis-Israel yang didukung penuh oleh kekuatan global, terutama Amerika Serikat. Resolusi PBB dan keputusan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) yang menyebut Netanyahu sebagai penjahat perang pun tak pernah terealisasi. Dunia seolah bungkam tak berdaya.

Situasi di Gaza semakin memperjelas bahwa krisis Palestina menjadi titik tolak bagi umat Islam untuk menyadari pentingnya penegakan khilafah. Kekuatan negara hanya dapat dilawan oleh kekuatan negara pula. Karena itu, seruan jihad melalui pengiriman pasukan militer di bawah naungan khilafah mulai bergema di mana-mana. Seruan ini mulai membuat gentar para pemimpin negara adidaya dan Zionis Israel.

Ketakutan tersebut bukan tanpa alasan. Mereka menyadari bahwa khilafah merupakan institusi yang berpotensi menggagalkan rencana mereka untuk menguasai negeri-negeri Muslim, merampas kekayaan alamnya, dan mempertahankan hegemoni ideologi kapitalisme yang kian rapuh.

Untuk meredam kesadaran umat Islam terhadap pentingnya jihad dan khilafah, berbagai langkah dilakukan, mulai dari kebijakan lunak hingga operasi militer. Selain di Gaza, serangan militer juga dilancarkan ke Lebanon, Yaman, dan Suriah. Antara 2019 dan 2023, AS tercatat telah menyuplai 69 persen kebutuhan senjata Zionis. Pada akhir 2023, angka tersebut meningkat menjadi 78 persen.

Di sisi lain, AS juga memperkokoh dukungannya terhadap para penguasa Arab untuk mempertahankan posisi mereka sebagai sekutu strategis. Beberapa pemimpin Arab bahkan secara terang-terangan mendukung normalisasi hubungan dengan Israel. Mereka ikut mendukung Barat dalam menghambat persatuan umat Islam dan menganggap para penyeru jihad serta khilafah sebagai ancaman bersama.

Kenyataan ini semakin menunjukkan bahwa solusi yang ditawarkan Barat tidak akan mampu mengakhiri penjajahan di Palestina. Solusi tuntasnya hanyalah melalui jihad dan penegakan khilafah. Meski seruan ini kerap dianggap sebagai NATO (No Action Talk Only), kenyataannya seruan tersebut kian menggentarkan Zionis Israel dan para penguasa kapitalis.

Para pengemban dakwah khilafah harus semakin yakin bahwa perjuangan ini akan berujung pada kemenangan. Sebab, khilafah adalah ajaran Islam, janji Allah ï·», dan bisyarah Rasulullah ï·º tentang kembalinya Khilafah Rasyidah 'ala minhajin nubuwwah.

Sistem Islam adalah aturan dari Allah ï·» yang akan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Umat harus sadar bahwa kerusakan sistem kapitalisme-sekularisme semakin nyata dan kebutuhan akan penggantinya, yaitu sistem Islam dalam naungan khilafah, kian mendesak.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar