
Oleh: Muhar
Sahabat Gudang Opini
Kabar baik, stok beras di gudang Perum Bulog per 4 Mei 2025 dilaporkan melimpah mencapai 3.502.895 ton, angka tertinggi sejak Bulog berdiri pada 1969. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (5/5/2025), menyatakan bahwa jumlah ini bahkan melampaui capaian saat Indonesia meraih swasembada beras pada 1984.
Kabar buruknya, di balik angka yang tampak mengesankan itu, realitas di lapangan sangat kontras. Harga beras premium di berbagai daerah masih terbilang lumayan tinggi bertahan di kisaran Rp14.000–16.000/kg (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, Mei 2025).
Apalagi, jika dihubungkan dengan laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, yang dirilis Bank Dunia mencatat bahwa penduduk Indonesia pada 2024 lebih dari separuhnya (60,3 persen) tergolong miskin.
Tentu tak dapat dipungkiri, salah satu komponen terbesar pengeluaran yang memberatkan mereka adalah untuk kebutuhan pangan, termasuk beras karena sebagai makanan pokok utama.
Ironisnya lagi, di tengah kabar stok beras yang melimpah ini, Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah menyebut bahwa sekitar 1,7 juta ton dari total stok tersebut merupakan sisa impor dari tahun sebelumnya, bukan hasil penyerapan produksi dalam negeri.
Agus Ruli juga mengungkap bahwa penyerapan gabah oleh Bulog tahun ini baru mencapai sekitar 1,8 juta ton, sedangkan luas lahan tanamnya terus menyusut akibat alih fungsi lahan yang mencapai lebih dari 100.000 hektare setiap tahun. (Kompas)
Kapitalisme Gagal
Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini menjadikan pangan sebagai komoditas ekonomi, bukan hak dasar rakyat. Negara lebih berperan sebagai pengatur arus barang dan penyeimbang pasar daripada sebagai penjamin kesejahteraan rakyat.
Tak mengherankan jika gudang beras bisa penuh, tetapi rakyat tetap antre bantuan sosial, bahkan banyak yang terpaksa mengurangi konsumsi karena daya beli yang rendah.
Negara penginduk kapitalis ini juga lebih mengutamakan impor daripada membina ketahanan pangan melalui petani lokal. Sepanjang 2024, total impor beras Indonesia mencapai 3,2 juta ton, tertinggi sejak 2011 (Katadata.co.id, 27 Desember 2024). Kebijakan ini jelas memukul harga panen petani dan memperkuat ketergantungan terhadap negara lain.
Tinggalkan Kapitalisme
Fakta bahwa stok beras melimpah tapi rakyat masih banyak yang susah menunjukkan dengan gamblang, jelas dan terang bahwa sistem kapitalisme telah gagal menjamin kesejahteraan.
Angka-angka tinggi hanya menjadi catatan prestasi di atas kertas, tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem kapitalisme dan mewujudkan sistem Islam yang akan menjadikan negara sebagai pengurus dan pelayan umat, bukan mitra dagang korporasi.
Islam sebagai Solusi
Berbeda dengan kapitalisme, Islam mewajibkan negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan, sebagaimana sabda Rasul ï·º:
الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam (Khilafah), pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah tugas langsung negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi.
Khilafah akan memastikan distribusi beras sampai ke rakyat, bukan sekadar menumpuk stok di gudang. Negara wajib mendistribusikannya secara adil, mengatur, menyuplai langsung kebutuhan pokok, serta memberikan bantuan permanen kepada rakyat miskin.
Negara juga akan mengelola lahan pertanian dan sistem irigasi secara optimal, serta memfasilitasi petani dengan teknologi, modal, dan distribusi hasil panen.
Praktik penimbunan (ihtikar) akan dicegah, dan pengendalian pasar ditegakkan agar harga tetap stabil dan adil.
Hanya dengan penerapan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah (sistem Islam) kebutuhan pangan akan bisa dijamin secara adil, manusiawi, dan penuh keberkahan.
0 Komentar