
Oleh: Muhar
Sahabat Gudang Opini
Ketimpangan kepemilikan tanah (agraria) yang ekstrem turut diakui oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid.
Dikutip dari laman resmi Kementerian ATR/BPN, Senin (5/5/2025), ia menyebutkan bahwa satu keluarga di Indonesia menguasai hingga 1,8 juta hektar lahan, sementara petani kecil di NTB mengalami kesulitan mengakses satu atau dua hektar tanah.
"Petani kecil di NTB (Nusa Tenggara Barat), termasuk warga Nahdlatul Wathan, mencari tanah satu atau dua hektar saja bisa berkonflik," kata Nusron.
Ketimpangan agraria ini bukan sekadar fakta statistik, melainkan gejala sistemik dari struktur ekonomi-politik yang berakar pada ideologi kapitalisme.
Kapitalisme menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang dapat dimiliki, diperdagangkan, dan dikuasai tanpa batas oleh individu atau korporasi.
Prinsip dasar sistem ini adalah liberalisasi kepemilikan, termasuk atas sumber daya vital seperti tanah, yang pada akhirnya menimbulkan akumulasi aset di tangan segelintir elite. Dalam konteks Indonesia, hal ini diperparah oleh sejarah panjang feodalisme, lemahnya reformasi agraria, serta peran negara yang cenderung melayani kepentingan pemilik modal daripada kepentingan rakyat.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia tergolong sangat tinggi. Indeks Gini ratio untuk penguasaan tanah telah mencapai angka di atas 0,6—angka yang menunjukkan ketimpangan serius. Fenomena seperti penguasaan jutaan hektar oleh satu keluarga merupakan manifestasi nyata dari prinsip "survival of the fittest" dalam ekonomi kapitalis, di mana yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan akan menguasai sumber daya strategis, sementara mayoritas rakyat terpinggirkan dari akses dasar kehidupan.
Dalam perspektif Islam, tanah bukan sekadar properti yang dapat dimiliki sekehendak hati, tetapi amanah yang penggunaannya diatur oleh syariat untuk kemaslahatan umat. Islam membedakan antara kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Dalam Islam, tanah secara umum dapat dimiliki individu, tetapi penggunaannya tidak boleh merugikan masyarakat luas. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَن أحيا أرضًا ميتةً فَهيَ لَهُ، وليسَ لعِرقِ ظالمٍ حقٌّ
“Siapa yang menghidupkan tanah yang tak bertuan, maka itu adalah miliknya. Keringat orang zalim tidaklah mendapatkan keberhakan apa-apa.” (HR. Abu Daud no. 3073).
Namun, dalam Islam, kepemilikan tidak bersifat mutlak. Jika lahan tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan, negara dapat mencabut hak milik tersebut dan memberikannya kepada pihak lain yang lebih membutuhkan.
Negara (dalam sistem Khilafah) bertanggung jawab penuh dalam mengatur distribusi lahan agar tidak terjadi penumpukan kekayaan di segelintir tangan, sebagaimana peringatan Allah ﷻ:
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS. Al-Hasyr: 7).
Dengan demikian, Islam memberikan kerangka sistemik yang menyeluruh dalam pengaturan kepemilikan tanah. Sistem ini tidak sekadar mengatur redistribusi lahan, tetapi juga menciptakan mekanisme pengawasan dan sanksi untuk mencegah akumulasi lahan yang tidak produktif dan eksploitatif.
Ketimpangan agraria yang terjadi di Indonesia saat ini adalah akibat langsung dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan tanah sebagai alat akumulasi kekayaan. Selama sistem ini (kapitalisme) masih menjadi fondasi kebijakan agraria nasional, maka ketimpangan, konflik lahan, dan ketidakadilan struktural akan terus berlangsung di negeri ini. Solusi mendasarnya adalah mengganti paradigma kapitalisme dengan sistem Islam yang berkeadilan, yang menjadikan negara sebagai pengatur dan pelayan umat dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk tanah.
0 Komentar