
Oleh: Intan A.L
Pegiat Literasi
Dulu, toleransi hidup di antara kita tanpa plang nama, tanpa seremoni, tanpa program pemerintah. Ia tumbuh di musala kecil yang pintunya tak pernah terkunci, di warung kopi yang tak bertanya agama sebelum menyeduh. Kini, di tengah gegap gempita pembangunan kota, kita justru perlu "kampung toleransi" sebuah kawasan khusus untuk mengingatkan bahwa hidup berdampingan itu penting. Apakah ini bukti kita semakin dewasa, atau justru sinyal bahwa ada sesuatu yang retak di akar kebersamaan kita?
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, telah meresmikan Kampung Toleransi ke-6 yang berlokasi di Kelurahan Cibadak, Kota Bandung (jabarprov.go.id, 29/4/2025). Farhan menyampaikan, bahwa toleransi bukan sekadar konsep, melainkan praktik hidup berdampingan yang damai dan saling menghargai. Semua bentuk ketidakpuasan mesti diselesaikan dalam kerangka hukum, tidak melalui konflik fisik. Perbedaan bukan hal yang dilarang, tapi harus tetap berada dalam satu kerangka Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, tuturnya.
Padahal, jauh sebelum istilah toleransi menjadi jargon sosial modern, Islam telah meletakkan fondasinya dengan tegas dan penuh kasih. Sudah disebutkan dalam Al-Qur’an, “Tidak ada paksaan dalam beragama” (QS. Al-Baqarah: 256), sebuah ayat yang tak hanya menunjukkan kebebasan berkeyakinan, tapi juga penghormatan atas pilihan hidup manusia. Nabi Muhammad ï·º pun hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi dan Nasrani di Madinah, menetapkan Piagam Madinah sebagai bentuk perjanjian sosial yang menjunjung hak dan martabat setiap kelompok. Maka, jika Islam sejak awal sudah mengajarkan toleransi, pertanyaannya: Untuk siapa sebenarnya kampung toleransi itu didirikan?
Dari Tauhid ke Pluralisme: Distorsi Makna Toleransi
Masalahnya, sistem kapitalisme sekuler yang hari ini menjadi fondasi kehidupan sosial politik telah memisahkan agama dari ranah publik. Konsep toleransi pun tak lagi bersumber dari nilai ilahiah, melainkan dari kesepakatan manusia yang berubah-ubah sesuai arah kepentingan umum. Akibatnya, toleransi bukan lagi prinsip yang kokoh, tapi alat yang lentur, bisa ditarik dan dibengkokkan sesuai arus zaman. Inilah yang berbahaya. Ketika tolok ukurnya bukan wahyu, toleransi bisa bergeser menjadi penerimaan terhadap semua keyakinan sebagai “sama benar”, sebuah paham pluralisme liberal yang justru menabrak akidah Islam. Padahal, Islam telah menetapkan batas yang jelas: menghormati keyakinan orang lain tanpa harus mengakui kebenaran di luar tauhid. Beginilah toleransi yang lurus, bukan yang menyesatkan.
Kepentingan mulai tampak jelas salah satunya dalam pernyataan Lurah Sukamiskin, Sofyan Ismail. Ia menyatakan bahwa pembentukan Kampung Toleransi tidak hanya bertujuan mendukung pelaksanaan Pilkada yang damai, tetapi juga untuk memperkuat persatuan di tengah perbedaan suku, agama, dan latar belakang sosial. Melalui inisiatif ini, Kelurahan Sukamiskin berharap dapat menjadi contoh bagi wilayah lain dalam menciptakan lingkungan yang aman, damai, dan toleran. Terlebih program ini dianggap sejalan dengan visi Kota Bandung (Bandung.go.id, 11/10/2024).
Sebagai contoh, di Kampung Toleransi Kebon Jeruk, Kota Bandung, disebutkan bahwa salah satu warganya, Rafly—seorang pemuda Muslim berusia 24 tahun sering hadir dalam ritual yang digelar di Vihara Tanda Bhakti (prfmnews.pikiran-rakyat.com, 30/09/2022).
Praktik seperti ini rawan disalahpahami sebagai bentuk toleransi, padahal justru bisa menimbulkan kekeliruan akidah. Minimnya kontrol dan edukasi keagamaan membuat sebagian umat merasa harus “membaur” dalam segala hal demi menghindari label intoleran, meskipun itu berarti ikut terlibat dalam aktivitas keagamaan yang bertentangan dengan syariat.
Moderasi Beragama: Membungkam Prinsip Atas Nama Perdamaian
Kampung Toleransi sejatinya bukan program yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari agenda besar moderasi beragama yang tengah digencarkan di berbagai wilayah Indonesia. Sekilas, istilah ini terdengar positif—mendorong umat agar bersikap seimbang dan tidak ekstrem. Namun, jika ditelaah lebih dalam, moderasi beragama lahir dari rahim paham liberal sekularisme, yang menempatkan agama hanya sebagai urusan pribadi dan menolak peran dominan ajaran agama dalam kehidupan publik.
Dengan dalih mencegah radikalisme, umat justru diarahkan untuk melunakkan prinsip agamanya demi menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum yang terus berubah. Maka, kampung toleransi bukan sekadar ruang hidup bersama, tapi bisa menjadi alat untuk membentuk ulang cara beragama umat agar sesuai dengan standar sekular yang dibungkus dalam kemasan damai dan rukun. Padahal, Islam sendiri telah memiliki panduan yang utuh dalam bersikap adil terhadap perbedaan tanpa harus mengorbankan kemurnian akidah.
Sejarah mencatat bagaimana Islam pernah membawa kejayaan dan harmoni di Andalusia, wilayah yang kini dikenal sebagai Spanyol. Negeri itu bahkan dijuluki “tanah tiga agama” karena umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan selama berabad-abad. Namun, toleransi di sana bukan sebagai hasil kompromi politik. Bukan pula demi menjaga suasana tertib semu: ia tumbuh dari penerapan syariat Islam yang utuh dan adil. Masyarakat hidup rukun bukan karena dipaksa oleh regulasi buatan manusia, tapi karena keimanan yang mendarah daging melahirkan kesadaran kolektif untuk saling menghormati. Ketertiban bukanlah tujuan utama, melainkan buah dari keyakinan yang kokoh. Inilah bedanya antara toleransi yang bersumber dari iman dengan toleransi yang lahir dari kalkulasi kepentingan—yang satu abadi, yang lain rapuh.
Sudah seharusnya umat Islam memahami toleransi sebagaimana yang diajarkan oleh Islam, bukan sekadar mengikuti arus definisi yang ditawarkan oleh ideologi asing. Toleransi dalam Islam tidak bermakna mencampuradukkan keyakinan, melainkan menghormati perbedaan tanpa mengorbankan prinsip akidah. Kita bisa hidup damai bersama pemeluk agama lain tanpa harus terlibat dalam ibadah mereka, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah ï·º dan para sahabat.
Mari tegakkan toleransi yang hakiki—toleransi yang lahir dari keimanan, bukan dari tekanan sosial atau standar sekuler. Sebab hanya dengan cara inilah kita dapat menjaga keharmonisan masyarakat sekaligus memelihara kemurnian akidah. Hal itu hanya dapat terwujud melalui penerapan syariat Islam yang komprehensif, bukan melalui sekularisme yang membungkus liberalisasi beragama dalam kemasan perdamaian yang menyesatkan.
Wallahu a'lam bishshawwab.
0 Komentar