
Oleh: Riyah
Pemerhati Sosial
Rumah adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Ia bukan sekadar tempat berteduh, melainkan ruang untuk membangun keluarga, menumbuhkan nilai-nilai moral, serta menciptakan stabilitas sosial. Sayangnya, di negeri ini, memiliki rumah semakin jauh dari jangkauan rakyat kecil.
Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa sekitar 26,9 juta rumah di Indonesia masuk kategori tidak layak huni, salah satunya karena dampak kemiskinan ekstrem. Namun, akar masalah dari kemiskinan itu sendiri jarang dibedah secara jujur. Pemerintah lebih sibuk menggulirkan program bantuan yang bersifat tambal sulam, tanpa menyentuh sumber utama persoalan: sistem ekonomi kapitalistik yang menciptakan ketimpangan secara struktural.
Ketika Rumah Jadi Barang Dagangan
Di tengah kebutuhan yang mendesak, pemerintah justru menggandeng sektor swasta dalam pembangunan perumahan. Rencana pembangunan 3 juta unit rumah per tahun melalui skema gotong royong antara pemerintah dan swasta, terlihat ambisius, namun mengandung banyak pertanyaan.
Apakah pembangunan itu benar-benar ditujukan untuk rakyat miskin? Apakah benar rakyat kecil mampu menjangkau rumah-rumah tersebut?
Fakta di lapangan berkata lain. Harga rumah terus melambung, bahkan menurut data Bank Indonesia (BI), rata-rata harga rumah di kawasan perkotaan meningkat sekitar 2,4% setiap tahunnya, sementara kenaikan upah minimum cenderung stagnan. Situasi ini menjadikan rumah sebagai komoditas investasi, bukan lagi kebutuhan rakyat. Developer besar mendominasi pasar, menguasai lahan, dan memasarkan properti dengan target utama kelas menengah atas.
Dalam sistem kapitalisme, akses terhadap rumah sangat bergantung pada kemampuan ekonomi. Negara cenderung berperan sebagai fasilitator bagi korporat, bukan sebagai pelindung hak-hak rakyat. Tak heran jika pemerintah justru mengadopsi prinsip liberalisasi lahan, membiarkan pemodal besar menggusur lahan rakyat atas nama pembangunan.
Ketimpangan yang Meningkat
Kesenjangan dalam kepemilikan rumah makin menganga. Menurut data Badan Pusat Statistik (2023), sekitar 15,21% rumah tangga Indonesia belum memiliki rumah sendiri, dan sebagian besar tinggal di hunian dengan status bebas sewa. Lebih rinci lagi, sekitar 54% generasi muda (usia 20–39 tahun) belum memiliki rumah. Di kota besar seperti Jakarta, kondisi lebih parah: generasi milenial diperkirakan baru mampu membeli rumah setelah usia 50 tahun jika hanya mengandalkan tabungan pribadi.
Ini bukan semata masalah individu, tetapi buah dari sistem ekonomi yang gagal menjamin hak dasar warga negara. Negara melepaskan tanggung jawabnya untuk menjamin kebutuhan pokok, termasuk tempat tinggal.
Islam Menjamin Kebutuhan Hunian Setiap Warga
Dalam Islam, pemimpin (khalifah) bertugas mengurus urusan umat dan menjamin kebutuhan pokok rakyatnya secara langsung. Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin bagi rakyatnya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Dalam sistem Khilafah, kepemilikan rumah merupakan bagian dari kebutuhan pokok yang wajib dijamin negara. Pembangunan perumahan dilakukan bukan karena motif untung, tetapi karena dorongan tanggung jawab syar’i. Karenanya negara akan:
- Mengelola tanah dengan bijak, bukan berdasarkan logika pasar bebas.
- Mendistribusikan lahan kepada rakyat yang mampu mengelolanya, dan menarik kembali lahan yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun.
- Membangun rumah secara masif untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan hanya untuk menarik investor.
- Menutup celah spekulasi harga tanah dan rumah.
- Mendorong kaum kaya untuk menyalurkan hartanya melalui sedekah, zakat, dan wakaf dalam membangun perumahan rakyat.
Sistem Islam tidak akan membiarkan tanah dan rumah menjadi alat eksploitasi oleh korporasi. Sebaliknya, ia mendorong pemerataan dan kesejahteraan melalui kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat.
Khatimah
Selama negeri ini tetap berada dalam cengkeraman sistem kapitalisme, rumah akan tetap menjadi impian yang mahal bagi jutaan rakyat. Program pembangunan yang digembar-gemborkan hanyalah ilusi jika tak dibarengi perubahan sistemik yang menyentuh akar masalah.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa hanya dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah, kebutuhan dasar seperti rumah dapat terpenuhi secara adil dan merata. Karena Islam datang bukan hanya untuk mengatur ibadah, tetapi juga menjamin kesejahteraan seluruh manusia dengan aturan yang menyeluruh (kaffah).
Wallahualam bissawab.
0 Komentar