
Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Rumah merupakan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi oleh setiap umat. Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Republik Indonesia menyatakan, sebanyak 26,9 juta rumah di Indonesia termasuk tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem. Namun, pemerintah tidak pernah mengungkap latar belakang terjadinya kemiskinan ekstrem tersebut.
Pada saat yang sama, pemerintah bahkan mengeluarkan berbagai kebijakan yang makin kapitalistik serta berpotensi melahirkan kemiskinan struktural dan sistemik.
Memang, pemerintah berencana dalam menyelesaikan masalah ini dengan menargetkan dalam satu tahun bisa membangun tiga juta unit rumah yang tepat sasaran, yaitu melalui program bedah rumah secara gotong royong antara pemerintah dan swasta.
Itu semua menimbulkan ketimpangan hidup yang sangat mencolok di masyarakat Indonesia karena keberpihakan pemerintah yang lebih condong kepada para kapitalis.
Program tiga juta rumah memang tampak mudah dan singkat untuk bisa mewujudkan angka 10,86 juta unit rumah. Namun, dalam kehidupan sistem kapitalisme, program tiga juta rumah itu mustahil terealisasi tanpa ada motif ekonomi.
Dalam proses penyediaan bangunan rumah, pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri. Pemerintah akan menggandeng swasta. Belum lagi persoalan birokrasi, administrasi, serta mekanisme liberal dalam pengelolaan sektor perumahan.
Semua ini menegaskan bahwa gurita korporasi begitu kuat di negeri ini, yang telah nampak dikendalikan oleh para korporat di sektor bisnis hunian/perumahan. Pembangun dan penyedia hunian di Indonesia nyatanya bukan pebisnis biasa, melainkan para korporat pengembang (developer).
Akibatnya, harga rumah menjadi mahal karena pasar perumahan diserahkan secara penuh kepada mekanisme liberal.
Penguasa dalam sistem kapitalisme bukannya memperjuangkan nasib rakyat agar mereka bisa memiliki hunian, tetapi lebih memilih untuk membela pengusaha besar.
Penguasa juga telah berlepas tangan dari tanggung jawabnya untuk menjamin distribusi kebutuhan primer rakyatnya dari segi kepemilikan rumah.
Ini bertentangan dengan sabda Rasulullah ï·º, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Juga firman Allah Ta'ala dalam ayat, “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal…” (QS An-Nahl [16]: 80).
Dalam sistem Islam, semua orang yang tinggal di dalam wilayah negara bersistem Islam (Khilafah) adalah warga negara yang dijamin hak kesejahteraannya secara individu per individu. Dalam hal ini, pendistribusian rumah oleh Khilafah dilakukan baik melalui hasil usaha individu tersebut maupun berupa pemberian negara.
Khilafah mengatur interval pembangunan perumahan dengan menggenjot produksi rumah secara besar-besaran, serta menyediakan kebutuhan dan tetap memperhatikan keseimbangan antara visi pembangunan dengan aspek ekologi dan konversi lahan.
Kemudian, tata kelola perumahan oleh Khilafah tidak menggunakan prinsip liberalisasi lahan. Khilafah tidak akan membiarkan seorang pun leluasa merampas dan menggusur tanah milik warga berdasarkan kekuatan uang dan undang-undang neoliberal sebagaimana dalam kapitalisme.
Di sisi lain, jika ada seorang pemilik tanah yang tidak mengelola tanahnya selama tiga tahun, Khilafah berhak mengambil tanah tersebut untuk diberikan kepada warga lain yang mampu mengelolanya.
Khilafah akan menerapkan mekanisme tertentu agar setiap warga terpenuhi kebutuhannya akan rumah layak huni. Pada saat yang sama, Khilafah berupaya menutup berbagai celah keserakahan orang-orang kaya yang hendak mengeksploitasi bisnis dan kepemilikan rumah.
Khilafah justru menyuburkan motivasi di kalangan orang-orang kaya tersebut untuk tidak abai membelanjakan hartanya di jalan Allah, baik dalam bentuk sedekah, zakat, maupun wakaf kepada sesama Muslim.
Semua itu tentu saja akan terwujud dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah, yaitu dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah.
Wallahu alam bissowab.
0 Komentar