
Oleh: Abu Hanif
Sahabat Gudang Opini
Konflik agraria yang terjadi di tepi IKN (Ibu Kota Nusantara), Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, antara warga dan PT International Timber Corporation In Indonesia Kartika Utama (PT ITCI KU), kembali menampar kesadaran publik. Di tengah proses hukum yang masih berjalan, lahan warga mulai digusur secara sepihak.
Lebih parahnya lagi, empat warga Desa Telemow: Syafarudin, Hasanudin, Rudiansyah, dan Syahdin ditahan Kejaksaan Negeri Penajam Paser Utara sejak 13 Maret 2025.
Mereka dijerat dengan dakwaan pengancaman dan penyerobotan lahan yang diklaim masuk dalam HGB (Hak Guna Bangunan) milik perusahaan yang diberitakan sebagai milik adik Presiden RI, Hashim Djojohadikusumo. (Akurasi.id)
Padahal, warga mengklaim telah tinggal di wilayah tersebut jauh sebelum perusahaan hadir. “Saya saja menjadi RT sejak tahun 1992,” kata Muna, salah satu tokoh masyarakat Desa Telemow. Ia menyebut keluarganya telah bermukim sejak 1940-an, sementara HGB PT ITCI KU baru terbit pada 1993.
Kasus ini bukan sekadar konflik perebutan lahan biasa. Ia adalah gambaran utuh bagaimana sistem kapitalisme telah merusak konsep keadilan dan kepemilikan. Dalam sistem ini, hukum tunduk pada kepentingan pemilik modal, bukan pada prinsip keadilan sejati. Ketika perusahaan mengantongi HGB pada 1993, maka seluruh jejak sejarah warga yang sudah tinggal sejak 1940-an dianggap tidak sah. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap realitas dan nurani.
Kapitalisme Menyuburkan Ketimpangan
Sistem kapitalisme menempatkan tanah sebagai komoditas yang dapat dimonopoli oleh individu atau korporasi besar dengan legalitas negara. Tidak heran jika lebih dari 50% tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir pihak, sementara jutaan petani tidak memiliki lahan garapan. Negara yang seharusnya menjadi pengatur dan pelindung justru berperan sebagai pemberi izin eksploitasi kepada korporasi melalui skema HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), dan HTI (Hak Tanam Industri).
Kepemilikan tanah dalam kapitalisme tidak lagi berpijak pada asas keadilan dan kemaslahatan, tetapi pada asas profit dan legalitas semu.
Maka jangan heran jika warga bisa terusir dari tanah yang telah mereka hidupi selama puluhan tahun, hanya karena kekuatan dokumen dan kapital pihak lawan.
Islam Menjamin Kepemilikan Rakyat
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memandang tanah sebagai salah satu sumber daya vital yang pengelolaannya harus adil.
Islam mengenal tiga jenis kepemilikan: kepemilikan individu, umum, dan negara. Tanah bisa menjadi milik individu jika diperoleh secara syar’i, seperti melalui 'ihya’ul mawat' (menghidupkan tanah mati), warisan, atau pembelian sah tanpa kezaliman.
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
“Barang siapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR. Bukhari).
Dalam kasus Telemow, warga yang telah menghidupkan tanah sejak 1940-an jauh lebih berhak atas tanah itu menurut syariat Islam. Sementara penguasaan tanah oleh korporasi dengan status HGB yang baru muncul pada 1993, tidak sah secara syar’i jika mengakibatkan pengusiran terhadap pemilik sebelumnya atau dilakukan dengan cara zalim.
Lebih dari itu, dalam sistem Islam (Khilafah), negara tidak akan tunduk pada kepentingan kapitalis.
Khalifah adalah pelayan umat, bukan pelayan korporasi. Ia akan mengurus hak rakyat, menjaga tanah kaum Muslimin, dan memastikan tidak ada satu pun bentuk kezaliman dalam urusan kepemilikan.
Solusi Islam Bukan Sekadar Alternatif
Konflik agraria seperti di Telemow akan terus berulang selama sistem kapitalisme tetap dijadikan fondasi. Hanya sistem Islam yang mampu memberi keadilan sejati dalam hal kepemilikan, distribusi tanah, dan peran negara.
Sudah saatnya umat Islam mencampakkan sistem kapitalisme yang rusak dan kembali kepada syariah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Bukan hanya untuk menyelesaikan konflik agraria, tetapi juga sebagai jalan keselamatan dari seluruh bentuk kezaliman yang menyebar merajalela dalam sistem sekuler hari ini.
0 Komentar