KRISIS HUNIAN NASIONAL, ANTARA PROGRAM ILUSI DAN SOLUSI HAKIKI


Oleh: Fira Nur Anindya
Ibu Rumah Tangga

Pemerintah Indonesia mengungkap fakta mencengangkan bahwa sebanyak 26,9 juta rumah tangga di Indonesia belum tinggal di rumah yang layak. Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Ananta Wiyogo, menyampaikan dalam agenda Dialog Solusi Pendanaan Program 3 Juta Rumah pada 16 Desember 2024 bahwa mayoritas rumah tangga tersebut masih tinggal di rumah semi permanen, tanpa ventilasi, tidak memiliki fasilitas MCK memadai, atau tidak terhubung dengan air bersih (Kompas.com, 16-12-2024).

Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN), Nixon LP Napitupulu, bahkan menegaskan bahwa kemampuan pembangunan rumah saat ini hanya mencapai 400 ribu hingga 600 ribu unit per tahun. Artinya, untuk mengejar backlog perumahan yang mencapai 9,9 juta rumah, diperlukan strategi yang jauh lebih konkret. Ia juga menyebut bahwa mayoritas ketidaklayakan hunian disebabkan oleh masalah sanitasi (Tempo.co,16-12-2024).

Pemerintah sendiri telah menggulirkan Program Tiga Juta Rumah per tahun melalui kolaborasi lintas kementerian, sektor swasta, hingga program Corporate Social Responsibility (CSR). Namun, efektivitas program ini dipertanyakan banyak pihak. Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida, menilai target tersebut mustahil tercapai jika pembangunan perumahan masih bersifat eksklusif dan hanya menguntungkan kalangan tertentu (Detik.com, 21-02-2024). Ia menyebut perlunya kemudahan akses lahan dan regulasi yang tidak menyulitkan pengembang rakyat, bukan hanya korporasi besar.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa proyek-proyek prestisius seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) justru mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Menurut laporan, lahan untuk pembangunan PIK 2 di Jakarta diberikan kemudahan izin dan infrastruktur oleh negara, sementara di sisi lain, banyak rakyat kecil justru mengalami penggusuran. Kebijakan pembangunan saat ini tampaknya lebih berpihak pada kepentingan elite ekonomi dibandingkan kebutuhan dasar rakyat (Tempo.co 22-01-2024).


Ketimpangan dan Kegagalan Paradigma Kapitalisme

Dari berbagai fakta di atas, tampak jelas bahwa permasalahan perumahan dan kemiskinan bukan sekadar persoalan teknis atau minimnya anggaran. Ini adalah akibat langsung dari sistem kapitalisme yang menjadikan kebutuhan dasar manusia termasuk tempat tinggal, sebagai komoditas ekonomi. Negara, dalam sistem ini, bukanlah pelayan rakyat, tetapi fasilitator kepentingan bisnis, termasuk dalam hal penyediaan perumahan. Kebijakan pembangunan rumah yang mengandalkan investor swasta dan skema CSR mencerminkan minimnya keberpihakan terhadap rakyat miskin. Padahal, rumah adalah hak dasar setiap manusia. Namun, dalam paradigma kapitalistik, hanya mereka yang memiliki daya beli yang bisa mendapatkan hunian layak. Yang miskin? Mereka dibiarkan berjuang sendiri atau bergantung pada kuota program bantuan yang sangat terbatas.

Sementara itu, ketimpangan kekayaan yang mencolok, yaitu hanya segelintir orang yang menikmati keuntungan besar, sementara mayoritas hidup dalam tekanan ekonomi telah menjadi gejala khas dari sistem ekonomi liberal. Sistem ini membuka pintu lebar bagi akumulasi kekayaan oleh segelintir elite melalui kepemilikan modal, sementara negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan penjamin kebutuhan rakyat.

Lebih dari itu, mekanisme penguasaan tanah pun turut memperparah kondisi. Rezim pertanahan saat ini membolehkan penguasaan lahan dalam jumlah masif oleh korporasi, menyebabkan kesulitan akses tanah bagi rakyat kecil. Banyak warga akhirnya tinggal di kawasan kumuh, rawan longsor, atau bahkan tanpa kepemilikan tanah yang sah. Situasi ini adalah akibat langsung dari logika ekonomi kapitalistik yang mengutamakan akumulasi dan efisiensi bisnis, bukan keadilan distribusi.


Islam Menjamin Hak Dasar Rakyat

Islam memandang rumah sebagai bagian dari kebutuhan pokok yang wajib dijamin oleh negara. Allah ﷻ berfirman:

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْۢ بُيُوْتِكُمْ سَكَنًا
Dan Allah menjadikan rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.” (QS. An-Nahl: 80).

Rasulullah ﷺ pun menegaskan dalam sabdanya:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada sistem Khilafah Islamiyah, negara tidak menyerahkan pemenuhan kebutuhan pokok kepada mekanisme pasar. Justru negara hadir sebagai pihak yang aktif menjamin secara langsung kebutuhan tempat tinggal, sandang, dan pangan setiap individu, bukan hanya statistik atau rumah tangga. Negara Khilafah dapat menyediakan rumah bagi warga melalui berbagai mekanisme syar’i, seperti, pembangunan rumah rakyat dengan dana Baitul Mal, khususnya dari pos fai’ dan kharaj.

Distribusi tanah mati (mawat) kepada rakyat yang mampu mengelolanya juga diatur. Abu Yusuf di dalam Al-Kharaj menuturkan sebuah  riwayat dari Salim bin ‘Abdillah, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata di atas mimbar:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَة فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi orang yang memagari (tanah mati) setelah tiga tahun” (HR Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).

Negara dalam Islam melarang penguasaan tanah dan properti secara spekulatif oleh korporasi atau individu tanpa pemanfaatan syar’i. Pemanfaatan kepemilikan umum pun seperti tambang, hutan, dan sumber daya alam digunakan untuk membiayai fasilitas publik, termasuk hunian, tanpa membebani rakyat dengan pajak. Negara juga akan melarang liberalisasi properti yang menyebabkan tanah dan rumah menjadi objek spekulasi pasar, sebagaimana saat ini terjadi. Negara hadir sebagai penjaga keadilan dan pelindung hak-hak dasar rakyat.


Khilafah Menjadi Kebutuhan dan Jalan Perubahan Umat

Krisis hunian, kemiskinan struktural, ketimpangan ekonomi, dan pengabaian hak rakyat bukan sekadar problem manajerial, tetapi buah dari sistem buatan manusia yang keliru. Kini, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa perubahan sejati hanya bisa terwujud dengan sistem yang berasal dari wahyu, yakni Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Tegaknya Khilafah bukan mimpi utopis, melainkan perintah syar’i yang memiliki dasar kokoh dari Al-Qur’an dan Sunnah. Allah ﷻ berfirman:

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi...” (QS. An-Nur: 55).

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan kembali berdiri Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (berdasarkan metode kenabian).” (HR. Ahmad)

Untuk mewujudkan sistem ini, masyarakat Muslim bisa mengambil langkah-langkah nyata yaitu dengan, meningkatkan tsaqafah Islam dan kesadaran politik umat bahwa Islam adalah agama dan sistem kehidupan. Bergabung dalam barisan dakwah ideologis yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara kaffah. Menyuarakan opini publik tentang rusaknya sistem kapitalisme dan perlunya perubahan sistemik. Menolak sistem kufur secara damai dan konstitusional, serta menyampaikan dakwah Islam sebagai solusi hakiki tanpa kekerasan. Mendidik generasi muda dengan pemikiran Islam yang visioner, agar lahir pemimpin-pemimpin yang siap membawa umat menuju perubahan sejati.

Kini, umat tak lagi cukup berharap pada tambal sulam sistem. Apalagi dari solusi-solusi ala kapitalisme yang sudah terlihat nyata sering berujung pada ilusi dan janji manis belaka. Jangankan kebutuhan primer berupa hunian yang layak, kesehatan, ketersediaan pangan, dan pendidikan yang berkualitas pun betapa sulit didapat bagi rakyat kecil yang hanya bergantung pada bantuan serta kuota dari pemerintah yang terbatas serta bersyarat. Sudah waktunya menjemput perubahan hakiki melalui sistem yang dijanjikan Allah dan dicontohkan Rasulullah. Hanya dengan Khilafah Islamiyah, setiap individu akan mendapatkan haknya secara adil, hidup dalam keberkahan, dan kembali meraih kemuliaan sebagai umat terbaik.

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar