
Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas
Selamat datang di Baghdad, kota Harun Ar-Rasyid, bekas mercusuar peradaban Islam yang kini dijadikan panggung teater oleh para penguasa Arab. Kali ini, para pemain sandiwara berkumpul dalam episode istimewa: Konferensi Tingkat Tinggi Arab ke-34.
Tak tanggung-tanggung, 600 juta dolar dihabiskan demi memperindah pertunjukan ini. Kursi-kursi mewah diduduki oleh para pemimpin yang lebih fasih berkata “kami mengecam” daripada memimpin pasukan.
Mereka bicara panjang lebar soal Gaza, Suriah, Yaman, dan Sudan. Tapi tenang saja, tidak ada rudal yang dikirim. Tidak ada tank yang digerakkan.
Yang dikirim hanya kata-kata. Banyak. Panjang. Kosong.
“Kami menyerukan solusi politik.”
“Kami mendukung transisi damai.”
“Kami menyambut baik keputusan Amerika Serikat...”
Ah, tentu saja. Kita tahu siapa sutradara sebenarnya di balik panggung ini: Amerika, alias juragan para pemain.
Dan Israel? Cuma cameo. Tapi cameo yang bisa membombardir Gaza kapan saja, dan tetap dapat jatah dialog sopan dari naskah resmi KTT.
Bayangkan, para pemimpin negeri Islam berkumpul, tapi bukan untuk memobilisasi pasukan.
Mereka berkumpul untuk berkompetisi siapa yang paling pandai berpidato tanpa solusi.
Sungguh, mereka layak diberi penghargaan: “Aktor Terbaik dalam Genre Ketidakpedulian Politik.”
Dan di ujung pidato, seperti biasa, mereka merujuk pada Dewan Keamanan PBB. Lembaga yang sama yang sudah lebih sering membela penjajah ketimbang korban.
Karena bagi mereka, lebih mudah menunggu keputusan dari PBB daripada mencontoh langkah Rasulullah ï·º yang menaklukkan negeri kafir, bukan menulis resolusi.
Mari kita jujur. KTT Arab bukan lagi forum pembela umat. Ia telah menjelma menjadi komite pembenaran kemalasan politik.
Setiap tahunnya, mereka membahas penderitaan rakyat Palestina, sambil memastikan bahwa tidak ada satu pun keputusan yang mengganggu hubungan dagang dengan penjajah.
Lebih baik mereka mengganti nama forum ini. Bukan “KTT Arab”, tapi “KTT Kami Tidak Akan Melakukan Apa-Apa Tapi Terdengar Seperti Peduli.”
Wahai kaum Muslimin,
Ini bukan sekadar kebodohan. Ini kebodohan yang terorganisir dengan protokol internasional.
Jika Allah saja melarang harta diserahkan kepada orang bodoh, lalu kenapa kita rela menyerahkan umat kepada mereka yang bahkan tidak bisa membedakan musuh dan mitra bisnis?
Para penguasa hari ini tak berbeda dari pohon Gharqad. Mereka tidak memayungi umat, tapi justru memberi perlindungan simbolis bagi penjajah.
Mereka bicara tentang stabilitas Lebanon, tapi diam ketika Israel menyerang.
Mereka menyambut dicabutnya sanksi Suriah oleh Amerika, tapi tak menyambut seruan Allah untuk berjihad.
Mereka bicara damai di Yaman, tapi tak punya keberanian melawan agresor yang membuat negeri itu jadi reruntuhan.
Wahai umat Islam,
Sudah cukup bersabar menyaksikan pertunjukan ini. Kita tak butuh aktor, kita butuh pemimpin. Bukan pemimpin bertoga diplomatik, tapi Khalifah yang mengguncang dunia dengan kalimat: "Balasannya adalah apa yang kamu lihat, bukan apa yang kamu dengar."
Karena Gaza tidak akan bebas dengan pernyataan.
Suriah tidak akan sembuh dengan kutukan di podium.
Dan kehormatan umat tidak akan bangkit dari karpet merah, tapi dari panji-panji hitam yang tegak dan bergerak.
KTT Arab hanyalah badai dalam cangkir. Banyak suara, tak ada dampak.
Sedangkan umat Islam masih menanti badai sejati — badai yang datang dari perisai umat: Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Dan saat badai itu datang, tak ada lagi tempat bagi para aktor, kecuali di pinggir panggung, menatap umat yang akhirnya bangkit bukan dengan kata-kata, tapi dengan kemenangan.
0 Komentar