
Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas
Selamat datang di Timur Tengah, tanah penuh berkah—bagi penjajah. Saat Trump mendarat dengan pesawat kebanggaan Amerika, darah anak-anak Palestina masih belum mengering di reruntuhan Jabalia. Tapi jangan khawatir, karpet merah tetap digelar. Karena di dunia modern, pembantaian bukan alasan untuk membatalkan jamuan makan malam.
Kita patut berterima kasih pada para pemimpin Arab. Di tengah dentuman bom Zionis yang disponsori penuh oleh Washington, mereka tetap tenang. Tidak ada teriakan jihad, tidak ada pengerahan pasukan. Hanya senyum diplomasi dan ciuman pipi kiri-kanan, menyambut sang “penjaga perdamaian” dari seberang lautan.
Amerika memang hebat. Ia bukan sekadar negara. Ia adalah Israel besar. Dan Israel? Tentu saja, ia adalah Amerika kecil. Dua wajah dari satu ideologi: penjajahan. Dan para penguasa Arab? Mereka adalah pohon Gharqad, pohon yang disebut Nabi ï·º akan membela Yahudi di akhir zaman. Kini kita tahu, rupanya Gharqad bisa berbicara, menandatangani perjanjian dagang, dan membuka hotel bintang lima.
Lihatlah ironi ini. Ketika wanita dan anak-anak dibantai, para penguasa justru berlomba membangun pusat perbelanjaan dan markas militer AS di negeri mereka. Barangkali mereka pikir, jika cukup menyenangkan hati penjajah, maka peluru-peluru itu akan berubah menjadi mawar.
Yang lebih mencengangkan adalah doktrin baru mereka:
“Kami tidak takut kepada musuh, kami takut kehilangan investor.”
Tentu saja. Jihad melawan Israel bisa menakutkan para investor. Tapi menerima Zionis sebagai mitra dagang? Itu baru kebijakan visioner!
Mereka berkata, “Kami lemah, kami tidak bisa melawan.” Padahal mereka menyimpan jet tempur, tank, dan pasukan dalam jumlah raksasa. Tapi sayangnya, semua itu hanya digunakan untuk parade nasional dan menekan rakyat sendiri.
Sejak Khilafah runtuh, umat Islam seperti tubuh tanpa kepala—bergerak tanpa arah, ditarik ke sana kemari oleh tali-tali penjajah. Dan para pemimpinnya? Bukan pelindung, tapi satpam penjajah, berseragam lengkap dengan senyum standar internasional.
Jangan berharap pada mereka. Karena bagi mereka, yang perlu dibela bukan Al-Aqsha, tapi kontrak ekspor-impor. Dan yang harus diselamatkan bukan rakyat Gaza, tapi “stabilitas regional” versi Pentagon.
Sementara itu, entitas ilegal Israel terus memuntahkan bom. Dan dunia Islam? Terpecah, bisu, dan dipimpin oleh para “Gharqad hidup” yang takkan pernah berani mencabut akarnya dari tanah kolonialisme.
Maka, wahai umat Islam, sadarilah:
- Palestina tak butuh lebih banyak konferensi. Ia butuh pasukan.
- Ia butuh perisai, bukan perisai dari NATO, tapi perisai sebagaimana sabda Nabi: Khilafah.
- Perisai yang takkan membiarkan satu inci pun tanah umat diinjak tanpa perlawanan.
Sudah cukup kita berharap pada para Gharqad yang berdasi. Sudah cukup menunggu keadilan dari para penjajah berbintang.
Karena selama Israel adalah Amerika kecil, dan Amerika adalah Israel besar, maka darah umat ini akan terus dianggap sebagai “kolateral diplomasi.”
Dan selama penguasa kita hanyalah taman-taman Gharqad yang rindang melindungi Zionis, maka tak akan ada pembebasan, kecuali kita mencabut akar sistem ini, dan menggantinya dengan pohon yang benar: Khilafah yang ditanam di atas tanah tauhid, disiram darah para syuhada, dan dipelihara oleh keberanian.
0 Komentar