
Oleh: Suci Musada, S.M.
Aktivis Muslimah
Baru-baru ini publik kembali diguncang oleh kasus tragis seorang bayi yang dibuang melalui aplikasi ojek daring. Bayi tersebut lahir dalam keadaan prematur, lalu tidak lama kemudian meninggal dunia. Ironisnya, bayi itu dibuang oleh orang tuanya yang ternyata merupakan hasil hubungan inses. Ia lahir bukan dari cinta, melainkan dari hubungan terlarang antara kakak dan adik. Ia dibuang bukan karena bersalah, tetapi karena kehadirannya yang tidak diharapkan (Kompas.com, 11/05/2025).
Peristiwa ini begitu menyayat hati. Banyak yang marah, sebagian mencaci maki. Yang lebih menyedihkan, kasus seperti ini bukan yang pertama dan tampaknya bukan pula yang terakhir. Maka, berapa banyak bayi lagi yang harus mengalami nasib serupa? Ada satu pertanyaan besar yang jarang benar-benar dijawab: mengapa hal seperti ini terus terjadi?
Jawabannya sederhana, namun menohok: karena sistem negara ini tidak beres.
Fenomena ini tidak lepas dari pengaruh gaya hidup liberal yang lahir dari rahim sekularisme yang dianut oleh negeri ini. Liberalisme menjadikan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi. Akibatnya, batasan halal dan haram menjadi kabur, manusia dibiarkan menentukan keinginannya sendiri. Inilah yang melahirkan kebebasan tanpa arah, menjadikan seks bebas sebagai pilihan pribadi.
Saat ini, seks bebas tidak lagi dianggap penyimpangan. Ia telah dinormalisasi dalam kehidupan, dalam pergaulan, media, bahkan dalam pendidikan. Remaja dicekoki pemahaman Barat bahwa seks adalah urusan pribadi, bagian dari kebebasan atas tubuh. Belum lagi hadirnya slogan yang mendukung seks bebas seperti “Ini Tubuhku, Ini Hakku.” Padahal, kebebasan seksual semacam ini adalah mesin penghancur masa depan.
Dalam kondisi seperti ini, tak heran jika inses yang dulu dianggap tabu kini dapat terjadi dalam realitas kehidupan, bahkan dengan kekejaman yang mengerikan: membuang darah daging sendiri. Lebih miris lagi, negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung masyarakat justru terlihat abai. Kebijakan yang ada malah condong pada gaya hidup liberal. Edukasi seks diberikan bukan untuk mencegah zina, melainkan agar zina dilakukan dengan “aman”. Remaja diajarkan memakai kondom, bukan diajarkan takut kepada Tuhan.
Negara seolah menjadi fasilitator seks bebas, bukan penjaga moral anak bangsa. Alih-alih memperkuat pendidikan moral berbasis agama, negara justru mendorong kurikulum yang membuang agama dari kehidupan. Ruang selebar-lebarnya diberikan bagi budaya asing untuk masuk, dan tempat disediakan bagi konten-konten destruktif dalam dunia digital. Makanan, hiburan, fesyen, dan film yang digandrungi remaja pun sangat jauh dari nilai agama.
Kini masyarakat sedang menyaksikan buah busuk dari sistem sekular liberal. Mereka marah saat kasus ini terjadi, tetapi membiarkan, bahkan menganulir sistem rusak yang menghantarkan pada kemaksiatan. Bukankah ini bentuk kemunafikan? Mereka membebaskan manusia dari aturan Tuhan, lalu terkejut ketika manusia bertindak seperti hewan.
Islam sangat berbeda. Islam mewajibkan negara membina masyarakat dengan akidah yang kokoh, membentengi pergaulan dengan aturan yang Allah tetapkan, menjaga interaksi laki-laki dan perempuan, serta menjadikan keluarga sebagai pilar utama penjaga kemuliaan generasi. Diperlukan perubahan menyeluruh ke arah sistem hidup yang tunduk sepenuhnya pada aturan Sang Pencipta. Negara juga harus hadir sebagai penjaga agama dan pelindung umat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
رَعِيَّتِهِ عَنْ وَمَسْئُولٌ رَاعٍ الإِمَامُ
“Imam adalah raa’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari).
Dalam Islam, Allah secara jelas mengharamkan pernikahan dan hubungan seksual sedarah, sebagaimana tertulis dalam Alquran:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri (QS. An-Nisa [4]: 23)
Bahkan, dalam Islam, inses bukan hanya diharamkan tetapi juga ada sanksi hukumnya. Diriwayatkan dari Al-Barra bin Azib ra.:
عن البراء بن عازب قال: لقيت خالي ومعه الراية، فقلت: أين تريد؟ قال: بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى رجل تزوج امرأة أبيه من بعده، أن أضرب عنقه
“Dari Al-Bara' bin 'Azib, ia berkata: Aku bertemu dengan pamanku yang membawa bendera. Aku bertanya kepadanya, 'Ke mana kamu pergi?' Dia menjawab, 'Rasulullah ﷺ mengutusku kepada seorang pria yang menikahi istri ayahnya setelah ayahnya wafat, dan memerintahkanku untuk memenggal kepalanya.' ” (HR. Abu Daud)
Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, negara bukan hanya sekadar institusi pemerintahan, tetapi merupakan perisai yang menjaga kemuliaan umat. Negara hadir untuk menegakkan hukum-hukum Allah secara kaffah, termasuk dalam menjaga kehormatan keluarga dan generasi.
Islam tidak membiarkan masyarakat berjalan tanpa arah, tetapi membimbing mereka dengan aturan yang berasal dari wahyu. Karena itu, keberadaan negara dalam Islam bukan sekadar simbol administratif, melainkan wujud nyata tanggung jawab syari dalam melindungi akidah, akhlak, dan kehormatan umat.
Inilah bentuk perlindungan hakiki yang hanya mungkin terwujud ketika sistem kehidupan tunduk sepenuhnya kepada syariat-Nya.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar