MINAT BACA MASYARAKAT INDONESIA RENDAH, BAGAIMANA ISLAM MENGATASINYA?


Oleh: Diaz
Jurnalis

Tanggal 17 Mei 2025 Indonesia merayakan Hari Buku Nasional (Harbuknas) sekaligus memperingati Ulang Tahun Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI). Ditengah kemeriahan acara tersebut, mirisnya Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan tingkat literasi yang rendah. Berdasarkan data UNESCO, indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya mencapai 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang memiliki minat membaca. Lebih jauh, penelitian "World’s Most Literate Nations Ranked" oleh Central Connecticut State University pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara. Meskipun infrastruktur pendukung literasi cukup memadai, minat baca masyarakat Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain. (rri.co.id)

Apa penyebabnya? Sistem kapitalisme-sekulerisme yang mengakar dalam struktur sosial-ekonomi Indonesia adalah biang keladinya. Dalam kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai komoditas ekonomi, bukan hak dasar. Negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan penyedia layanan pendidikan gratis dan berkualitas. Hal ini membuat akses pendidikan dan literasi sangat bergantung pada kemampuan finansial masyarakat.


Dampak Kapitalisme dan Sekulerisme terhadap Minat Baca

Indonesia adalah negara yang mengaku menerapkan ideologi Pancasila, namun realitanya sistem bangsa ini masih mengadopsi kapitalisme sebagai pengerak roda perekonomian bangsa. Dalam kapitalisme tolok ukur keberhasilan adalah keuntungan materi, sehingga tidak salah jika pendidikan dijadikan ajang memperoleh keuntungan materi, mulai dari buku, literatur bahkan aksesnya dikapitalisasi. Dalam kehidupan, kapitalisme juga sudah meresap pada setiap sendi sosial masyarakat, sehingga paham yang terbentuk ditengahnya adalah asas manfaat yang bersifat dangkal seperti: apa untungnya membaca? Toh di sekolah juga sudah. Kenapa harus membaca? Masih banyak hal penting lain yang perlu dilakukan. Apakah dengan membaca perut bisa kenyang? Buat hidup aja susah, untuk apa menambah susah. Kenapa harus pusing membaca? Masih banyak kesenangan dan hiburan yang bahkan tidak perlu susah dan berkorban dari segi materi, seperti menonton tayangan hiburan.

Kapitalisme telah berhasil membuat negara hingga masyarakat berpikir secara transaksional jangka pendek dan malas berkorban untuk masa depan yang belum pasti, keuntungan ataupun timbal balik merupakan hal wajib yang harus dilakukan untuk memperoleh sesuatu, sehingga manusia sebagai mahluk sosial menyalahi kodratnya dengan bersikap individualis dan apatis (acuh tak acuh), mau melakukan sesuatu jika mendapatkan hasil materi atau keuntungan lain sebagai timbal baliknya. Keandaan inilah yang membentuk masyarakat malas membaca serta tidak menyadari bahwa mereka menjadi bodoh akibat kemalasannya.

Pada sisi lain, sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan memperburuk keadaan. Mayoritas umat Islam tidak lagi menjadikan ilmu dan membaca sebagai aktivitas bernilai ibadah, namun hanya dipandang apakah akan memberikan manfaat materi atau tidak, menyenangkan atau tidak, melelahkan atau tidak. Akibatnya, kesadaran akan pentingnya ilmu semakin tergerus, terutama di kalangan generasi muda yang selalu disuguhi doktrin sekulerisme atas nama toleransi.


Pandangan Islam terhadap Literasi dan Ilmu Pengetahuan

Dalam Islam, membaca bukan sekadar aktivitas akademis, tetapi merupakan kewajiban spiritual. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah perintah untuk membaca, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-‘Alaq ayat satu hingga lima. Hal ini menegaskan bahwa membaca adalah fondasi utama dalam Islam. Pada ayat yang lain Allah ﷻ berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar [39]: 9)

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ
Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11)

Rasulullah ﷺ sendiri, meski tidak bisa membaca, namun berulang kali diperintahkan untuk “Iqra”, hal ini menyiratkan bahwa sangat penting memahami wahyu Allah. Membaca dalam Islam bukan sekadar melantunkan teks menjadi sebuah kata lalu kemudian menjadi untaian kalimat, namun lebih dari itu, membaca dalam Islam adalah proses memahami, mempelajari sehingga akhirnya melaksanakan pemahaman tersebut hingga terbentuk kepribadian Islam yang tercemin dalam setiap tingkah laku dan sikapnya dalam menjalani kehidupan. Rasulullah ﷺ berpesan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)


Peran Negara dalam Sistem Islam untuk Mendorong Literasi

Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, dalam sistem Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis bagi seluruh rakyatnya. Khalifah akan memastikan setiap warga negara memiliki akses terhadap sumber daya literasi, mulai dari buku, perpustakaan, hingga fasilitas pendidikan formal dan informal, bahkan negara melalui ragam kebijakannya akan terjun langsung pada program penyadaran masyarakat terkait pentingnya literasi, terutama melalui membaca.

Permasalahan anggaran yang begitu besar selalu menjadi masalah utama dalam program penyadaran masyarakat akan pentingnya literasi terutama di Indonesia. Indonesia sendiri mengalami defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperkirakan mencapai Rp616,19 triliun, atau setara 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hingga Maret 2025, defisit APBN tercatat sebesar Rp104,2 triliun, menurut data yang disampaikan oleh Menteri Keuangan. Keterbatasan anggaran inilah yang menjadikan Indonesia sulit untuk membuat program penyadaran literasi sebagai prioritas. (news.ddtc.co.id)

Lain kapitalisme-sekuler, lain juga Islam dalam mengatasi permasalahan anggaran. Dalam Islam, sumber pemasukan negara untuk menjamin terlaksananya program pendidikan tanpa beban pajak yang menyengsarakan rakyat adalah sebagai berikut:
  • Zakat - Dikelola untuk kemaslahatan umum, termasuk pendidikan.
  • Kharaj dan Jizyah - Pemasukan dari tanah dan non-Muslim yang berada dalam wilayah Khilafah.
  • Ghanimah dan Fai' - Harta rampasan perang dan harta tanpa pemilik yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
  • SDA - Sumber daya alam dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat, termasuk untuk pengembangan pendidikan.


Khatimah

Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia bukan sekadar persoalan teknis, tetapi masalah sistemik yang berakar dari penerapan sistem kapitalisme-sekulerisme. Sistem ini menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi yang mahal dan tidak terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Berbeda dengan Islam, Islam memandang literasi sebagai bagian dari ibadah, dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan setiap rakyatnya dapat mengakses ilmu pengetahuan, serta negara akan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca.

Negara yang berfungsi sebagai pelayan rakyat dan tidak memperlakukan rakyatnya dengan perhitungan untung dan rugi mustahil dapat terwujud, jika kapitalisme-sekuler masih dijadikan sebagai asas dan sistem bernegara. Kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi juga akan sulit terbentuk, karena dalam pandangan kapitalisme ditambah dengan kehidupan yang sekuler akan selalu membuat kondisi masyarakat menjadi individualis dan apatis.

Dengan menerapkan sistem pemerintahan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah segala permasalahan yang terjadi akan teratasi, begitupun dengan rendahnya minat baca di Indonesia juga akan terselesaikan. Sebagai seorang muslim ketika mendapatkan permasalahan tentulah harus mencari solusi dari sumber Islam, jangan dari sumber yang lain, apalagi jika solusi itu bersumber dari mantan penjajah bangsa ini, wajib hukumnya untuk ditolak. Allah ﷻ berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raf [7]: 96)

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al-Ma'idah [5]: 50)

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar