PERSOALAN SAMPAH TIDAK KUNJUNG USAI


Oleh: Nanda Khairunnisa
Penulis Lepas

Pemerintah tampaknya masih kesulitan menghadapi persoalan sampah yang tak kunjung usai. Hal ini mencerminkan ketidaksinkronan program “zero waste” di berbagai lini. Mulai dari kebijakan produksi makanan dari berbagai daerah yang justru menambah jumlah sampah, cara penanggulangan yang tidak menyeluruh, hingga minimnya kesadaran masyarakat, semua tampak berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Dialog yang dilakukan pemerintah bersama aktivis lingkungan justru mengesankan bahwa pemerintah belum memiliki solusi konkret, padahal semua perangkat dan sumber daya ada di tangan mereka. Dialog itu pun tidak bisa disebut sebagai bentuk antisipasi yang memadai.

Masalah sampah ini terjadi karena buruknya pengelolaan di berbagai aspek. Kesadaran masyarakat rendah, lembaga pengelola sampah belum merata, kinerja mereka pun belum optimal, dan alokasi dana yang digelontorkan belum cukup untuk menyelesaikan persoalan ini. Pemerintah semestinya bisa mendatangkan pakar untuk menyusun solusi strategis, tetapi hal itu belum dilakukan secara serius. Akibatnya, persoalan sampah terus menumpuk dan menimbulkan risiko lingkungan yang besar, mulai dari pencemaran air dan tanah, hingga potensi ledakan gas metana. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pun hanya jadi tempat menumpuk sampah tanpa pengelolaan yang layak, yang pada akhirnya memperburuk kualitas hidup warga sekitarnya.

Sampah bukan perkara sepele. Jangan sampai dianggap “sampah” hanya karena wujudnya kotor. Ibu saya pernah berkata bahwa dana pemerintah untuk urusan ini sangat kecil karena dianggap tidak prioritas, padahal faktanya, alokasi APBN untuk pengelolaan sampah hanya sekitar 0,64%! Ini menunjukkan bahwa keseriusan pemerintah memang masih sangat diragukan.

Kesadaran masyarakat juga masih memprihatinkan. Slogan “Kebersihan sebagian dari iman” sudah sering kita dengar, tapi perilaku masyarakat masih jauh dari nilai tersebut. Sebagai pelajar, saya sering menyaksikan murid-murid yang dengan santainya membuang sampah di kolong meja, lapangan, bahkan di toilet dan masjid. Mereka pun enggan saat diminta ikut kerja bakti. Ironisnya, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim, tapi belum mampu memberi dampak nyata terhadap kebersihan lingkungan.


Lalu, apakah Islam mengatur soal sampah?

Tentu. Dalam urusan dunia, kita diperbolehkan mengadopsi teknologi dan sistem dari negara manapun, termasuk negara Barat, selama tidak berkaitan dengan akidah. Dalam Islam, kita diperintahkan untuk menjaga keselamatan dan tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.” (HR. Ibnu Majah, no. 2340)

Jika masalah sampah terus dibiarkan, tentu akan menimbulkan bahaya. Apakah kita ingin saat keluar rumah justru mencium bau sampah, bukannya udara segar? Atau menghirup gas metana yang bisa meledak bila terkena percikan api? Belum lagi dampaknya terhadap tanah dan air yang tercemar.


Apa yang bisa kita lakukan?

Kita bisa mulai dari diri sendiri. Misalnya, dengan membawa botol minum sendiri alih-alih membeli air kemasan, atau membawa kotak makan sendiri untuk mengurangi limbah plastik. Sisa makanan, kulit buah, dan sayuran bisa dijadikan kompos atau dikubur di tanah. Kita perlu menyadari bahwa bumi ini bukan hanya tempat tinggal kita saat ini, tapi warisan untuk anak cucu kita nanti. Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk alam lingkungan.

Islam juga memberi kelonggaran dalam urusan duniawi:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, no. 2363)

Artinya, pengelolaan sampah bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun, nilai-nilai syariat tetap menjadi pijakan. Jika individu telah memiliki kesadaran, akan terbentuk komunitas yang peduli lingkungan. Tapi jika negara tidak mendukung, semangat mereka bisa luntur. Maka, peran negara sangatlah penting dan menentukan.

Negara seharusnya memfasilitasi pengelolaan sampah dengan lembaga yang profesional dan alat yang memadai. Lihat saja Belanda, negara yang dulu menjajah kita, kini justru memanfaatkan sampah menjadi barang berguna, mulai dari bahan bangunan hingga pakaian. Negara bisa mengundang para ahli untuk merancang solusi dan menyiapkan anggaran secara serius. Daripada sibuk membangun infrastruktur yang belum tentu berdampak luas bagi masyarakat, lebih baik memprioritaskan kualitas hidup rakyat melalui lingkungan yang bersih dan sehat.

Namun, percuma jika lingkungan bersih tapi perilaku masyarakat masih “seperti sampah”. Negara juga harus membentuk rakyat yang berakhlak baik. Lihat saja di negara-negara maju: teknologinya canggih, pengelolaan sampahnya rapi, tapi akhlak masyarakatnya memprihatinkan, pergaulan bebas merajalela, sopan santun memudar, rasa malu lenyap.


Apakah standar moral memang berbeda-beda di setiap tempat?

Benar. Tapi sebagai Muslim, kita memiliki standar moral terbaik: syariat Allah dan ajaran Rasulullah. Hanya dengan sistem Islam yang kaffah, yakni Daulah Khilafah Islamiyah, generasi unggul bisa tercipta, unggul secara spiritual dan duniawi. Sejarah membuktikan bahwa Daulah Khilafah pernah melahirkan peradaban gemilang.

Apakah kita tidak rindu kejayaan itu? Apakah kita tidak ingin menegakkan syariat secara utuh untuk mengembalikan kemanusiaan yang telah merosot?

Mari bersama-sama mempelajari dan memahami Islam lebih dalam. Karena hanya dengan pemahaman yang benar kita bisa mewujudkan perubahan nyata bagi diri, masyarakat, dan dunia.

Posting Komentar

0 Komentar