
Oleh: Retno Purwaningtias, S.IP
Pegiat Literasi
“Perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2025 mengajarkan tentang pentingnya kesadaran dan pengendalian diri sebagai fondasi yang kuat dalam kehidupan yang berkeadaban. Hal ini sejalan dengan cita-cita Kota Medan mewujudkan masyarakat yang unggul, energik, dan humanis.”
— Rico Waas, Wali Kota Medan —
Isi sambutan tersebut disampaikan oleh Wali Kota Medan saat menghadiri perayaan Hari Raya Waisak sekaligus peresmian gedung baru Vihara Vimala Marga di Jalan Lahat, Kecamatan Medan Kota, pada tanggal 18 Mei 2025. Beliau juga menekankan pentingnya kesadaran dan pengendalian diri sebagai landasan kehidupan beradab, serta mengajak seluruh umat beragama di Medan untuk merasa memiliki kota ini dan bersama-sama menjaga perdamaian serta kerukunan antarpemeluk agama (viva.co.id, 18/5/2025).
Singkatnya, acara ini merupakan perayaan keagamaan sekaligus momentum untuk menguatkan toleransi dan persatuan di Kota Medan.
Memang benar, toleransi adalah sebuah sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat beragama untuk menjaga kedamaian. Namun, di sebuah negara yang menganut sistem sekuler—sistem yang memisahkan agama dari seluruh aspek kehidupan—definisi toleransi perlu dipertanyakan. Sebab, dalam praktiknya, toleransi kerap dijadikan alat (instrumental) untuk mendukung kebijakan politik atau pencitraan, tanpa mempertimbangkan batas-batas keyakinan masing-masing agama.
Kehadiran seorang pemimpin Muslim dalam perayaan agama lain, meskipun diklaim sebagai bentuk toleransi, justru berpotensi mencederai akidah dan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Sebab, ini bukan hanya soal kehadiran fisik, tetapi juga simbol dukungan terhadap ritus kepercayaan yang berbeda secara fundamental, yang seharusnya memiliki batas tegas dalam pemahaman dan sikap keagamaan.
Realitas semacam ini makin diperburuk dengan arus deras moderasi beragama yang digencarkan oleh pemerintah di seluruh aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, media, hingga kebijakan publik. Moderasi beragama bukan sekadar ajakan untuk hidup rukun, tetapi telah menjadi proyek ideologis untuk membentuk cara pandang umat agar menerima relativisme (tidak ada kebenaran yang mutlak) dalam beragama. Dari sinilah lahir konsep toleransi versi sekuler, yang tidak lagi menjadikan akidah sebagai batas, tetapi mengarah pada pluralisme, yaitu memandang semua agama sama benar, sama baik, dan layak diperlakukan setara dalam kebenaran.
Toleransi seperti inilah yang sebenarnya menjadi alat bagi orang-orang kafir untuk melemahkan keyakinan umat Islam dengan membaurkan identitas agama. Salah satunya adalah dengan mengikis semangat al-wala’ wal bara’, yaitu prinsip dasar dalam membangun identitas dan integritas keimanan seorang Muslim.
Al-wala’ wal bara’ bukan sekadar soal cinta dan benci, apalagi kebencian buta. Ia adalah bentuk komitmen tegas terhadap kebenaran dan penolakan terhadap kebatilan—prinsip yang menuntut loyalitas total kepada Islam dan penolakan terhadap segala bentuk kekufuran serta penyimpangan. Contohnya adalah mencintai dan menolong sesama Muslim dalam kebaikan (al-wala’), serta tidak meridai ideologi sekuler, liberalisme, atau ikut mendukung perayaan agama lain (al-bara’), karena semua itu bertentangan dengan tauhid dan syariat Islam. Tanpa prinsip ini, umat akan terus terombang-ambing oleh narasi yang menyesatkan, yang dibungkus atas nama toleransi dan keberagaman.
Namun, dalam arus deras moderasi beragama dan kampanye toleransi versi sekuler, umat justru diarahkan untuk menyesuaikan ajaran Islam agar ramah terhadap standar nilai-nilai Barat. Akibatnya, umat tidak lagi memiliki ketegasan dalam menjaga kemurnian akidah, bahkan merasa bersalah ketika menunjukkan loyalitas yang eksklusif terhadap agamanya sendiri.
Sikap Wali Kota Medan yang menghadiri perayaan agama lain seolah mencerminkan keberhasilan narasi toleransi versi sekuler yang kian mengakar di tengah masyarakat. Tindakan tersebut bukan sekadar bentuk partisipasi seremonial, tetapi juga menunjukkan bagaimana seorang pemimpin Muslim dapat terjebak dalam standar ganda toleransi yang justru mencederai akidah umat. Ketika kehadiran itu dianggap sebagai simbol persatuan, sesungguhnya ia telah melemahkan batas tegas antara keimanan dan kekufuran, serta memberi pesan keliru kepada umat bahwa semua keyakinan dapat dirangkul tanpa batas. Sikap seperti ini bukanlah cerminan kepemimpinan yang menjaga kemurnian identitas Islam, melainkan bentuk kompromi yang merugikan umat secara ideologis.
Islam sendiri tidak memiliki satu pun ajaran yang mengajarkan sikap intoleran. Justru, Islam sejak awal kedatangannya melalui risalah Rasulullah ï·º telah mengajarkan prinsip toleransi yang luhur dan bermartabat. Toleransi dalam Islam bukanlah kompromi terhadap akidah, melainkan pengakuan terhadap eksistensi orang lain tanpa mencampuradukkan ajaran agama.
Surat Al-Kafirun dengan tegas menyatakan, “Lakum diinukum wa liya diin”, artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Ayat ini merupakan bentuk toleransi sejati, di mana Islam mengakui keberadaan agama lain, namun tetap menegaskan identitas dan kebenaran Islam secara eksklusif. Inilah toleransi yang lurus dan tidak menyesatkan—tidak memaksa, namun juga tidak mencairkan batas kebenaran. Maka, toleransi dalam Islam berdiri di atas prinsip menjaga kemurnian akidah dan tidak membenarkan praktik-praktik keagamaan lain, apalagi sampai turut serta dalam perayaannya.
Dengan demikian, aktivitas mengucapkan selamat atau bahkan turut serta dalam perayaan hari raya agama lain bukanlah sekadar ekspresi kebersamaan atau menjaga kedamaian, melainkan bentuk pelanggaran terhadap hukum syarak. Maka, sudah semestinya umat menyadari bahwa solusi dari problem toleransi semu dan pendangkalan akidah ini tidak bisa diserahkan pada standar ganda sistem sekuler.
Satu-satunya solusi hakiki adalah dengan meyakini dan menerapkan Islam secara kaffah, termasuk dalam ranah kehidupan bernegara. Sebab, negara memiliki posisi strategis dalam membentuk arah pandang umat, menjaga kemurnian akidah, serta menetapkan kebijakan yang sejalan dengan syariat. Hanya sistem yang menjadikan wahyu sebagai satu-satunya sumber hukum yang mampu melindungi umat dari arus liberalisme nilai dan memelihara keteguhan akidah secara kolektif. Sudah saatnya umat menolak narasi toleransi yang mencampuradukkan iman dan menuntut kepemimpinan yang berpihak pada kemurnian akidah Islam.
“Menjaga akidah bukanlah intoleransi, tapi bentuk tertinggi dari cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Sebab, loyalitas yang sejati tak akan pernah tunduk pada standar yang mengaburkan kebenaran.”
Wallahualam bissawab.

0 Komentar