
Oleh: Arslan Anbiya
Follower Alraiah
Kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ke negara-negara Teluk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar menjadi sorotan dunia. Namun, kunjungan ini bukan hanya lawatan biasa. Ia sarat dengan kepentingan politik, ekonomi, dan pencitraan pribadi. Trump datang dengan krisis besar dari dalam negeri, dan pulang dengan miliaran dolar dari negeri-negeri Muslim yang tunduk.
Krisis di Dalam Negeri Amerika
Beberapa hari sebelum berangkat ke Timur Tengah, Trump menghadapi gejolak ekonomi di dalam negeri. Kebijakan menaikkan tarif impor, khususnya terhadap Cina, mengguncang pasar saham dan obligasi. Dalam dua hari, Wall Street merugi hingga 6,6 triliun dolar. Indeks S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones anjlok. Dunia pun khawatir akan pecahnya perang dagang global dan ancaman resesi ekonomi seperti Depresi Besar tahun 1929.
Situasi ini membuat popularitas Trump merosot tajam. Ia bahkan sempat mengeluarkan kebijakan kontroversial terhadap lembaga-lembaga budaya dan pendidikan, yang memicu kemarahan publik. Untuk meredakan ketegangan, Trump menunda beberapa tarif impor selama 90 hari (kecuali untuk Cina) dan menjanjikan “pengumuman besar” saat mengunjungi Timur Tengah.
Tur Teluk: Pertunjukan Kemenangan untuk Rakyat Amerika
Trump mengemas lawatan ke Timur Tengah sebagai misi penting. Ia menjanjikan pengumuman bersejarah, dan akhirnya menyampaikan dua hal: penurunan harga obat-obatan di AS sebesar 30%–80%, dan pembebasan seorang tahanan Amerika dari Gaza.
Namun, inti dari kunjungan ini adalah pencitraan. Trump ingin terlihat sebagai pemimpin kuat yang mampu “mendatangkan hasil” dari luar negeri. Ia bahkan memamerkan sambutan besar yang diterimanya di Arab Saudi, Qatar, dan UEA—mulai dari jet tempur pengawal hingga karpet merah dan penutupan masjid demi kunjungannya.
Trump menyebut, “Ini pertama kalinya mereka menutup masjid demi kunjungan saya. Ini kehormatan besar bagi Amerika.”
Dana Triliunan Dolar dari Para Penguasa Teluk
Kunjungan ini membawa hasil ekonomi besar bagi AS. Para penguasa Teluk berlomba menandatangani kontrak dan investasi:
- Arab Saudi: 600 miliar dolar dalam 4 tahun
- UEA: 1,4 triliun dolar dalam 10 tahun
- Qatar: 1,2 triliun dolar
Trump bahkan menyatakan targetnya adalah 4 triliun dolar. Semua dana ini dimaksudkan untuk menopang ekonomi Amerika dan memulihkan pasarnya yang sempat goyah.
Di hadapan rakyat Amerika, Trump memamerkan angka-angka ini sebagai bukti keberhasilannya. Gedung Putih bahkan menyebut kesepakatan pertahanan dengan Arab Saudi senilai 142 miliar dolar sebagai “yang terbesar dalam sejarah”.
Tekanan Politik: Normalisasi dengan Israel dan Loyalitas Total
Selain uang, Trump juga memanfaatkan momen ini untuk menekan para penguasa Teluk agar mendukung agenda politiknya. Ia meminta mereka bergabung dalam perjanjian normalisasi dengan Israel melalui Abrahamic Accords.
Bahkan Suriah pun tak luput. Presiden baru mereka, Ahmad al-Shara’, diminta melakukan tiga hal:
- Memerangi kelompok jihad
- Menyusun konstitusi sekuler
- Menormalisasi hubungan dengan Israel
Sebagai gantinya, Trump menjanjikan pencabutan sanksi ekonomi. Ini adalah bentuk politik transaksional: kekuasaan sebagai alat tawar-menawar, bukan amanah rakyat.
Panggung Penghinaan di Tengah Derita Gaza
Yang paling menyakitkan dari seluruh rangkaian ini adalah ironi besar yang tampak jelas. Saat para pemimpin Muslim menyambut Trump dengan pesta dan penghormatan, rakyat Palestina di Gaza justru sedang dibombardir dengan senjata buatan Amerika.
Trump, yang tangannya berlumuran darah umat Islam, disambut bak pahlawan. Anak-anak menari, para pangeran membungkuk, dan masjid-masjid ditutup. Semua demi seorang pemimpin yang secara terang-terangan mendukung penjajahan dan kekerasan terhadap umat.
Saatnya Umat Sadar dan Bangkit
Tur ini seharusnya menjadi titik balik kesadaran umat Islam. Bahwa para penguasa kita tidak lagi berdiri untuk umat, melainkan untuk kekuasaan mereka sendiri dan kesetiaan kepada kekuatan asing.
Trump membawa pulang triliunan dolar dan pencitraan sebagai pemimpin sukses. Sementara umat Islam hanya mendapat luka, rasa malu, dan pengkhianatan.
Semoga rasa sakit yang kita saksikan hari ini menjadi bahan bakar untuk perubahan besar. Semoga umat bangkit, menuntut kepemimpinan yang benar, dan mencabut kekuasaan dari tangan mereka yang menjual kehormatan Islam demi senyum sang penjajah.
0 Komentar