ALAM RAJA AMPAT RUSAK AKIBAT NEGARA TAK BERKAH?


Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas

Raja Ampat, yang kerap dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi”, kini kembali menjadi sorotan. Bukan karena keindahan alamnya, tetapi karena viralnya tagar #SaveRajaAmpat di berbagai media sosial. Dalam tagarnya masyarakat dan aktivis lingkungan menyerukan penghentian eksploitasi tambang nikel yang dianggap mengancam ekosistem laut dan hutan tropis wilayah tersebut.

Di ajang Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025 yang digelar di Jakarta (3/6/2025), Greenpeace bersama Masyarakat Adat Papua menyuarakan penolakan terhadap proyek tambang dan hilirisasi nikel. Mereka memprotes dampak ekologis dan sosial dari industri nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai bagian dari “transisi energi hijau”.

Padahal, data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa Indonesia telah mengeluarkan 380 izin usaha pertambangan (IUP) nikel, dengan total area hampir satu juta hektar. Alih-alih menyejahterakan rakyat, proyek tambang ini justru membawa kerusakan ekologis masif dan meminggirkan masyarakat lokal. Ironisnya, Indonesia justru menjadi penyumbang deforestasi tertinggi di dunia akibat tambang dengan menyumbang 58,2% dari total deforestasi di 26 negara, sebagaimana dilansir Kompas (13/9/2022).


Kapitalisme, Biang Kerok Kerusakan Lingkungan

Kita tidak bisa menutup mata bahwa kerusakan besar-besaran ini adalah buah dari sistem ekonomi Kapitalisme. Dalam sistem ini, tanah, laut, bahkan udara sekalipun dipandang sebagai komoditas. Negara pun tak lebih dari pelayan kepentingan para pemilik modal. Dengan dalih investasi dan pembangunan, kawasan konservasi pun dilepas begitu saja. Di Raja Ampat, kekayaan ekologis kini berubah jadi sasaran tambang demi memenuhi hasrat pasar global terhadap nikel yang menjadi komoditas utama baterai kendaraan listrik.

Kapitalisme juga merupakan ibu kandung dari oligarki, segelintir elite ekonomi dan politik yang menguasai sumber daya. Merekalah aktor utama yang mengendalikan negara. Mereka bisa membentuk undang-undang, membeli restu politik, bahkan menentukan arah kebijakan publik. Maka jangan heran jika perusahaan raksasa dengan mudah merampas tanah, mencemari laut, mengusir masyarakat adat, lalu dengan pongahnya mengklaim bahwa semua itu demi “pembangunan”.


Negara Tak Lagi Berpihak pada Rakyat

Yang lebih menyakitkan, aparat negara justru sering menjadi pelindung kepentingan korporasi, bukan rakyat. Laporan demi laporan tentang kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak masyarakat adat seolah dianggap angin lalu. Ketika rakyat menjerit karena sawah mereka rusak, laut tak lagi berikan ikan, atau hutan yang hilang memicu bencana, negara justru sibuk melayani investor.

Di tengah semua ini, masyarakat hanya bisa pasrah. Mereka bukan hanya kehilangan tanah dan laut, tapi juga harapan akan masa depan. Ketimpangan makin menjadi. Konflik agraria meluas. Para pembela lingkungan dikriminalisasi. Semua ini terjadi karena satu alasan: negara ini tidak berkah.


Mengapa Tidak Berkah?

Negeri ini tidak diberkahi karena telah menjauh dari hukum Allah. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi amanah justru dijadikan komoditas. Keserakahan manusia, difasilitasi oleh sistem kufur Kapitalisme yang telah dengan nyata merusak bumi. Padahal Allah ﷻ telah memperingatkan:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” (QS. al-A’raf [7]: 56)

Lebih dari itu, Allah ﷻ menegaskan:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum [30]: 41)

Ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan azab sosial-ekologis akibat dosa kolektif umat manusia yang membiarkan sistem rusak terus berkuasa. Deforestasi, polusi, kekeringan, banjir, tanah longsor, hingga wabah penyakit adalah peringatan Allah agar manusia segera kembali pada syariat-Nya.


Jadikan Islam Sebagai Solusi Hakiki

Dalam Islam, kekayaan alam seperti tambang adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Negara tidak boleh menyerahkannya kepada korporasi, apalagi asing. Nabi ﷺ bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Sistem Islam tidak memperbolehkan privatisasi atas kekayaan strategis. Negara (dalam hal ini Khilafah) berperan sebagai râ’in (pengurus rakyat), bukan rekanan bisnis. Negara bertanggung jawab penuh mengelola kekayaan alam secara adil dan bijak, hasilnya dikembalikan kepada umat melalui Baitul Mal, bukan dibagi-bagi ke elit politik atau pemilik modal.

Islam juga menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 30. Dimana manusia ditugaskan menjaga, bukan merusak. Alam boleh dimanfaatkan, tapi tidak boleh dieksploitasi berlebihan sebagaimana disampaikan Allah ﷻ dalam surat Hud ayat 61.


Saatnya Kembali kepada Hukum Allah

Selama negeri ini masih tunduk pada hukum jahiliah Kapitalisme, selama itu pula kerusakan akan terus berlangsung. Inilah sistem yang menyuburkan kerakusan, menyulap eksploitasi menjadi pembangunan, dan menjual amanah bumi demi keuntungan segelintir orang.

Sudah saatnya kita mencampakkan sistem Kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam yang kâffah. Sebab hanya dengan keimanan dan ketakwaanlah keberkahan bisa hadir. Allah ﷻ telah menjanjikan:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Jika penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raf [7]: 96)

Sementara itu, Allah juga mengingatkan:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin?” (QS. al-Maidah [5]: 50)


Penutup

Kerusakan di Raja Ampat hanyalah satu dari sekian banyak bukti nyata kegagalan sistem Kapitalisme. Ketika hukum Allah tidak ditegakkan, maka keberkahan pun dicabut. Kini, saatnya umat Islam bangkit dan menuntut tegaknya sistem Islam yang rahmatan lil 'alamin. Sejatinya, hukum Islam tidak hanya menyejahterakan manusia, tapi juga menjaga bumi dari kehancuran. Sebab hanya dengan sistem Islam, negeri ini akan kembali diberkahi.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar