
Oleh: Ilham Muhammad Naufal
Aktivis Mahasiswa
Demokrasi digadang-gadang sebagai sistem yang bersemboyan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Namun, pertanyaannya: rakyat yang mana? Rakyat yang merana atau rakyat yang di istana? Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja. Setelah pemilu, suara mereka diabaikan, dibungkam, dan tidak dipedulikan. Ironisnya, rakyat masih saja berharap akan keadilan dan kesejahteraan dalam sistem demokrasi. Padahal, dalam praktiknya, demokrasi justru membuka jalan bagi korporasi-korporasi besar untuk mengendalikan kekuasaan melalui dana kampanye dan lobi kebijakan.
Posisi Korporasi dalam Demokrasi
Sudah menjadi rahasia umum, korporasi-korporasi di Indonesia kerap mencaplok aset publik. Beberapa bulan lalu, kasus pagar bambu yang dipasang di laut sepanjang 30,16 km diduga memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang terafiliasi dengan beberapa perusahaan. Ada juga isu tentang pemerintah yang memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan dan kampus. Terbaru, sebanyak 152 perusahaan tengah menunggu konsesi hutan seluas 4,82 juta hektare. Alih-alih menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar, mereka justru merusak lingkungan dan hanya memperkaya segelintir orang.
Fun fact-nya, tindakan perusahaan-perusahaan ini diamini oleh pemerintah melalui regulasi yang pro-korporasi seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law), privatisasi sektor publik, perpanjangan izin usaha pertambangan, dan lain sebagainya. Terlihat jelas hubungan antara penguasa dan pengusaha; mereka bekerja sama untuk melanggengkan kekuasaan dan kekayaan. Orientasinya bukan lagi untuk melayani rakyat, melainkan memenuhi politik balas budi kepada oligarki.
Korporasi bisa bebas memanfaatkan kekayaan alam karena sistem yang dianut negara ini (kapitalisme) memang membolehkan hal itu. Individu diberi hak sebebas-bebasnya untuk memiliki. Sekilas, ini tampak seperti ide yang bagus, namun pada praktiknya menciptakan persaingan yang tidak sehat karena tidak semua orang memiliki akses dan fasilitas yang memadai. Hanya kalangan tertentu yang akan memenangkan kompetisi ekonomi. Ibarat hukum rimba: siapa yang kuat, dialah yang menang; siapa yang lemah, dialah yang tumbang. Itulah kesenjangan nyata dalam sistem demokrasi kapitalis ini.
Dominasi ini mengakibatkan ketimpangan ekonomi yang sangat besar. Kekayaan terkonsentrasi pada segelintir pemilik modal, sementara rakyat menjadi korban kerakusan mereka. Menurut data Oxfam (2024), 1% orang terkaya di dunia menguasai hampir 45% kekayaan global, sebagian besar berasal dari korporasi besar. Di sisi lain, janji-janji perusahaan untuk membuka lapangan kerja justru berakhir dengan kerusakan lingkungan. Contohnya: pencemaran laut dan sungai oleh industri, polusi tambang, serta deforestasi besar-besaran.
Kapitalisme menilai suatu tindakan berdasarkan asas manfaat, bukan halal dan haram. Selama menguntungkan, proyek itu akan dijalankan tanpa peduli dampaknya. Rakyat yang seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan justru menerima dampak kerusakan yang tidak mereka lakukan. Krisis air bersih, kehilangan mata pencaharian, dan penggusuran tempat tinggal hanyalah sebagian kecil dari akibat kerakusan korporasi.
Bagaimana Islam Memberi Solusi
Apakah kita mau mempertahankan kerusakan dan ketimpangan ini? Tentu tidak. Lalu, solusi apa yang mesti diupayakan? Dalam memecahkan masalah, kita harus memahami akar permasalahannya agar solusinya tepat. Seperti dalam ujian, memahami soal adalah setengah dari jawaban.
Adapun permasalahan ini bisa ditinjau dari dua sisi:
1. Tugas Penguasa dan Pengusaha
Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dari Allah ﷻ yang harus dijalankan untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau pribadi. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا“Dari Abu Dzar dia berkata, ‘Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pejabat?’ Abu Dzar berkata, ‘Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar’.” (HR. Muslim).Namun, faktanya hari ini para pemimpin justru berebut kursi kekuasaan dan menjadikannya alat untuk memperkaya diri, mengamankan jaringan oligarki, dan membungkam suara-suara kritis. Kekuasaan dijual melalui pemilu berbiaya tinggi, menjadi ladang investasi bagi para oligarki untuk mengamankan bisnis mereka.Bandingkan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika diangkat menjadi khalifah, beliau menangis dan berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin atas kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian..." Padahal, beliau adalah manusia terbaik setelah Rasulullah ﷺ. Demikian pula kekhawatiran Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz ketika rakyat tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan. Itu bukan sekadar retorika, tapi benar-benar terlaksana. Selama masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, tidak ditemukan satu pun mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).Sementara itu, para pengusaha di masa kejayaan Islam banyak yang mewakafkan hartanya untuk kemaslahatan umat melalui pembangunan sekolah, universitas, rumah sakit, dan sebagainya. Mereka tidak memperkaya diri atau menjalin kongkalikong dengan penguasa.
2. Konsep Kepemilikan dalam Islam
Konsep kepemilikan adalah hal fundamental dalam sistem ekonomi karena menyangkut distribusi kekayaan. Dalam Islam, kepemilikan terbagi menjadi tiga jenis:
- Kepemilikan individu: Hak milik pribadi yang diakui dan dilindungi oleh Islam selama diperoleh dengan cara halal. Contohnya: rumah, kendaraan, usaha pribadi.
- Kepemilikan umum: Hak milik bersama yang tidak boleh dikuasai individu atau korporasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Rasulullah ﷺ bersabda: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang, dan api." (HR. Tirmidzi). Pernah suatu ketika Rasulullah memberikan ladang garam kepada seseorang. Namun, setelah diingatkan sahabat bahwa ladang itu mengandung air asin (garam yang tidak habis-habis), Rasulullah mencabut pemberian tersebut karena termasuk milik umum yang tidak boleh dimonopoli.
- Kepemilikan negara: Hak milik kaum Muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah untuk membiayai administrasi negara, menggaji pegawai, dan membangun infrastruktur. Sumbernya antara lain dari fa’i, kharaj, jizyah, dan lainnya.
Sayangnya, solusi ini tidak bisa diterapkan secara parsial. Konsep kepemilikan, pengelolaan sumber daya, dan kesadaran kepemimpinan harus menjadi bagian dari sistem hidup yang utuh dan saling terikat. Penerapan Islam tidak cukup dilakukan secara individual atau komunitas, melainkan harus ditopang oleh kebijakan negara yang menjadikan syariat sebagai asas kehidupan. Sistem itu adalah Khilafah. Inilah solusi sistemik, bukan sekadar retorika, tapi visi nyata yang telah terbukti mensejahterakan manusia.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar