
Oleh: Fatma Komala
Ibu Rumah Tangga
لا دين إلا بجماعة ولا جماعة إلا بإمامة ولا إمامة إلا بسمع وطاعة
"Tidak ada Islam tanpa persatuan, tidak ada persatuan tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan." (Umar Bin Khatab)
MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) didirikan pada 1988 dengan tujuan menyatukan penentuan awal bulan hijriah, khususnya Idul Fitri dan Idul Adha, guna memperkuat solidaritas umat Islam di Asia Tenggara. Namun, perbedaan penetapan Idul Adha 1446 H/2025 antara Indonesia (6 Juni) dan Malaysia (7 Juni) mengungkap kelemahan organisasi ini. Meskipun Idulfitri 1446 H dirayakan secara serentak, ketidakselarasan dalam penetapan Idul Adha menimbulkan pertanyaan kritis tentang efektivitas MABIMS dalam menjalankan misi pemersatuannya. (Suaramuhammadiyah.id, 01/06/2025)
Padahal, Idul Adha erat kaitannya dengan wukuf di Arafah, yang seharusnya menjadi patokan universal. Ketidaksamaan ini menyoroti tarik-menarik antara otoritas nasional dan semangat ukhuwah Islamiyah lintas negara.
Ibadah haji sejatinya merupakan simbol persatuan umat Islam, di mana jamaah haji dari berbagai negeri, suku, bangsa, ras, bahasa, dan latar belakang sosial ekonomi melebur menjadi satu dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala. Sayangnya, semangat persatuan ini seakan hanya tumbuh dan terasa di Tanah Suci. Di luar itu, umat Islam masih terkotak-kotak oleh nasionalisme dan kepentingan politik domestik.
Umat Islam, yang berasal dari beragam suku, bangsa, dan budaya, tidak dipersatukan oleh kesamaan lahiriah, melainkan oleh ikatan akidah yang menyatukan hati dan arah perjuangan. Dengan jumlah yang mendekati dua miliar jiwa, umat ini memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan global yang dihormati, asalkan tidak terpecah oleh batas-batas negara dan kepentingan kelompok. Persatuan hakiki hanya dapat diwujudkan melalui sebuah kepemimpinan politik tunggal (khilafah) yang menyatukan seluruh umat dalam satu visi dan barisan.
Kita perlu kembali pada esensi Idul Adha: ketaatan total kepada Allah dan komitmen terhadap syariat Islam, tak hanya dalam ibadah individual, tetapi juga dalam sistem kehidupan. Persatuan sejati tak cukup dengan kesepakatan simbolik; dibutuhkan institusi yang menyatukan umat secara menyeluruh. Di sinilah pentingnya khilafah sebagai wadah pemersatu umat Islam dunia. Lantas, masihkah kita berdiam diri atas ketiadaan negara pemersatu umat Islam sedunia itu?
Wallahua’lam.
0 Komentar